Senin, 26 September 2016

ASUHAN KEPERAWATAN OSTEOPOROSIS

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu masalah gangguan kesehatan yang menonjol  pada usia lanjut adalah gangguan muskoloskeletal, terutama osteoartritis dan osteoporosis. Menghadapi problem ini tanpa adanya persiapa yang baik, di khawatirkan akan menjadikan beban yang akan di tanggung pemerintah, masyarakat, dan warga usia lanjut  dengan keluarga akan menjadi  sangat besar dan akan  menghambat perkembangan ekonomi  serta memperburuk kualitas hidup manusia secara utuh (isbagio H dalam Daniel, 2007).
Osteoporosis adalah suatu problem klimakterium yang serius. Di amerika serikat dijumpai  satu kasus osteoporosis  di antara dua sampai tiga wanita pascamonopause. Massa tulang pada manusia mencapai maksimum pada usia sekita 35 tahun, kemudian terjadi penurunan massa tulang secara eksponensial. Penurunan massa tulang ini berkisar  antara 3-5% setiap decade, sesuai dengan kehilangan massa otot  dan hal ini di alami baik pada pria dan wanita. Pada masa klimakterium, penurunan massa tulang pada wanita lebih mencolok  dan dapat mencapai 2-3%  setahun secara eksponensial. Pada usia 70 tahun  kehilangan massa tulang pada wanita  ini baru mencapai 25%  (Gonta,P.1996).
Kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, sehingga dapat menurunkan massa tulang total. Osteoporosis  adalah penyakit yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang  rendah,  disertai mikroarsitektur  tulang dan penurunan kualitas  jaringan tulang yang dapat menimbulkan  kerapuhan tulang. Tulang secara progresif  menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang menjadi mudah patah dengan stres, yang pada tulang normal tidak menimbulkan pengaruh. Sherwood (2001), mengatakan selama dua decade pertama kehidupan, saat terjadi pertumbuhan, pengendapan tulang melebihi resorpsi tulang dibawah pengaru hormone pertumbuhan. Sebaiknya pada usia 50-6- tahun, resorpsi tulang melebihi pembentukan tulang. Kalsitonin  yang menghambat resorpsi tulang dan merangsang pembentukan tulang mengalami penurunan. Hormone paratiroid meningkat bersama bertambahnya  dan meningkatkan resorpsi tulang. Hormone estrogen yang menghambat  pemecahan tulang, juga berkurang bersama bertambahnya usia.
Menurut Ganong (2003), perempuan dewasa memiliki massa tulang yang lebih sedikit  daripada pria dewasa, dan setelah menopause mereka mulai kehilangan tulang  lebih cepat daripada pria. Akibatnya perempuan lebih rentang menderita ospteoporosis serius. Penyebab utama berkurangnya tulang setelah menopause adalah defesiensi  hormone estrogen. Pada osteoporosis, matriks dan mineral tulang hilang, hingga massa dan kekuatan tulang, dengan peningkatan fraktur. 
Osteoporosis sering menimbulkan fraktur kompresi pada vertebra  torakalis. Terdapat penyempitan diskus  vertebra, apabila penyebaran berlanjut keseluruh korpus vertebra akan menimbulkan kompresi vertebra  dan terjadi gibus. Fraktur kolum femur  sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada perempuan, yang disebabkan oleh penuaan dan osteoporosis pascamenopause.
Kolaps bertahap tulang vertebra mungkin tidak menimbulkan gejala, namun terlihat sebagai kifosis progresif. Kifosis dapat mengakibatkan pengurangan tinggi badan. Pada beberapa perempuan dapat kehilangan  tinggi badan sekitar 2,5-15 cm, akibat kolaps vertebra.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep medis osteoporosis ?
2.      Bagaimana konsep asuhan keperawatan osteoporosis ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui konsep medis osteoporosis.
2.      Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan osteoporosis.







BAB II
KONSEP MEDIS OSTEOPOROSIS
A.    Defenisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara nyata yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang, sehingga tulang menjadi keropos dan rapuh. “Osto” berarti tulang, sedangkan “porosis” berarti keropos. Tulang yang mudah patah akibat Osteoporosis adalah tulang belakang, tulang paha, dan tulang pergelangan tangan (Endang Purwoastuti : 2009) .
Osteoporosis yang dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap tulang patah. Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan massa tulang total (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Menurut konsesus di Kopenhagen 1990, osteoporosis didefinisikan sebagai suatu penyakit dengan karakteristik massa tulang yang berkurang dengan kerusakan mikroarsitektur jaringan yang menyebabkan kerapuhan tulang dan resiko fraktur yang meningkat (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis adalah suatu keadaan dimana terdapat pengurangan jaringan tulang per unit volume,sehingga tidak mampu melindungi atau mencegah terjadinya fraktur terhadap trauma minimal (Kholid Rosyidi : 2013).
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan penurunan masa tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur dengan stres yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal (Brunner&Suddarth, 2000).

B.      Klasifikasi Osteoporosis
Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terdapat pada wanita postmenopause (postmenopause osteoporosis) dan pada laki-laki lanjut usia (senile osteoporosis). Penyebab osteoporosis belum diketahui dengan pasti. Sedangkan osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan Kelainan endokrin misalnya Chusing’s disease, hipertiriodisme, hiperparatiriodisme, hipogonadisme, kelainan hepar, gagal ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan minum alcohol, pemakaian obat-obatan/kortikosteroid, kelebihan kafein, dan merokok (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Djuwantoro (1996), membagi osteoporosis menjadi osteoporosis postmenopause (Tipe I), Osteoporosis involutional (Tipe II), osteoporosis idiopatik, osteoporosis juvenil dan osteoporosis sekunder.
1.      Osteoporosis Postmenopause (Tipe I)
Merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita kulit putih dan Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh percepatan resopsi tulang yang berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi hormon estrogen pada masa menopause.
2.      Osteoporosis involutional (Tipe II)
Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada perempuan maupun laki-laki. Tipe ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama antara kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan tulang.
3.      Osteoporosis idiopatik
Adalah tipe osteoporosis primer yang jarang terjadi pada wanita premenopouse dan pada laki-laki yang berusi di bawah 75 tahun. Tipe ini tidak berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor resiko yang mempermudah timbulnya penurunan densitas tulang.
4.      Osteoporosis juvenil
Merupakan bentuk yang paling jarang terjadi dan bentuk osteoporosis yang terjadi pada anak-anak prepubertas.
5.      Osteoporosis sekunder.
Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid, atraumatik reumatoid, kelainan hati/ ginjal kronis, sindrom malabsorbsi, mastisitosis sistemik, hipertiriodisme , varian status hipogonade dan lain-lain.
C.    Etiologi Osteoporosis
Osteoporosis postmenopouse terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopouse, pada wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kasium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu keadaan penurunan masa tulang yang hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan dua kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan postmenopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obet-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan obat- obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang, hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok bisa memperburuk keadaan ini (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya osteoporosis. Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko fraktur daripada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang normal. Setiap individu memiliki ketentuan normal sesuai dengan sifat genetiknya beban mekanis dan besar badannya. Apabila individu dengan tulang besar, kemudian terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih mempunyai tulang lebih banyak daripada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
D.    Patofisiologi Osteoporosis
Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan alkohol), dan aktivitas mempengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan masa tulang mulai terjadi setelah tercaipainya puncak massa tulang. Pada pria massa tulang lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal mendadak. Sedangkan pada perempuan, hilangnya estrogen pada saat menopouse  dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi tulang dan berlangsung terus selama tahun-tahun pasca menopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk mempertahankan remodelling tulang selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan fungsi tubuh. Asupan kasium dan vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan harian kalsium yang dianjurkan (RDA : recommended daily allowance) meningkat pada usia 11 – 24 tahun (adolsen dan dewasa muda) hingga 1200 mg per hari, untuk memaksimalakan puncak massa tulang. RDA untuk orang dewasa tetap 800 mg, tetapi pada perempuan pasca menoupose 1000-1500 mg per hari. Sedangkan pada lansia dianjurkan mengkonsumsi kalsium dalam jumlah tidak terbatas. Karena penyerapan kalsium kurang efisisien dan cepat diekskresikan melalui ginjal (Smeltzer, 2002).
Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan eksogen dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid yang lama, sindron Cushing, hipertiriodisme dan hiperparatiriodisme menyebabkan kehilangan massa tulang. Obat- obatan seperti isoniazid, heparin tetrasiklin, antasida yang mengandung alumunium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid dan suplemen tiroid mempengaruhi penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium.
Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimobilisasi dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan diresorpsi lebih cepat dari pembentukannya sehingga terjadi osteoporosis.
E.     Manifestasi Klinis Osteoporosis
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika kepadatan tulang sangat berkurang yang menyebabkan tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-tulang yang terutama terpengaruh pada osteoporosis adalah radius distal, korpus vertebra terutama mengenai T8-L4, dan kollum femoris (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari pungung yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk), yang menyebabkan terjadinya ketegangan otot dan rasa sakit (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Selain itu , yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Pada penderita osteoporosis, patah tulang cenderung mengalami penyembuhan secara perlahan (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
F.     Pengobatan Osteoporosis
Pengobatan osteoporosis yang telah lama digunakan yaitu terapi medis yang lebih menekankan pada pengurangan atau meredakan rasa sakit akibat patah tualng. Selain itu, juga dilakukan terapi hormone pengganti (THP) atau hormone replacement therapy (HRT) yaitu menggunakan estrogen dan progresteron. Terapi lainnya yaitu terapi non hormonal antara lain suplemen kalsium dan vitamin D.
1.      Terapi medis
Sebenarnya belum ada terapi yang secara khusus dapat mengembalikan efek dari osteoporosis. Hal yang dapat dilakukan adalah upaya-upaya untuk menekan atau memperlambat menurunnya massa tulang serta mengurangi rasa sakit.
a.       Obat pereda sakit
Pada tahap awal setelah terjadinya patah tulang, biasanya diperlukan obat pereda sakit yang kuat, seperti turunan morfin. Namun, obat tersebut memberikan efek samping seperti mengantuk, sembelit dan linglung. Bagi yang mengalami rasa sakit yang sangat dan tidak dapat diredakan dengan obat pereda sakit, dapat diberikan suntikan hormone kalsitonin.
Bila rasa sakit mulai mereda, tablet pereda rasa sakit seperti paracetamol atau codein ataupun kombinasi keduanya seperti co-dydramol, co- codramol, atau co-proxamol bagi banyak pasien cukup memadai untuk menghilangkan rasa sakit sehingga pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
2.      Terapi hormone pada wanita
Osteoporosis memang tidak dapat disembuhkan, semua upaya pengobatan hanya dimaksudkan untuk mencegah kehilangan massa tulang yang lebih besar. Namun, demikian, pengobatan masih perlu dilakukan pada kasus osteoporosis berat untuk mencegah terjadinya patah tulang. Obat-obat untuk mencegah penurunan massa tulang biasanya bekerja lambat dan efeknya kurang terasa sehingga banyak pasien penderita osteoporosis merasa putus asa dan menghentikan pengobatan. Hal tersebut sangat tidak baik karena pengobatan jangka panjang diperlukan untuk dapat secara maksimal menekan laju penurunan massa tulang dan patah tulang.
Terapi hormone pada wanita diberikan pada masa pramenopause. Lamanya pemberian terapi hormone sulit ditentukan. Yang jelas jika ingin terhindar dari osteoporosis, terapi hormone dapat terus dilakukan. Sebagian dokter menganjurkan untuk dilakukan terapi hormone seumur hidup semenjak menopause pada wanita yang mengalami osteoporosis. Namun, sebagian juga berpendapat bahwa penggunaan terapi hormone sebaiknya dihentikan setelah penggunaan selama 5-10 tahun untuk menghindari kemungkinan terjadinya kanker.
a.       Hormone Replacement Theraphy (HRT)
Hormone Replacement Theraphy (HRT) atau terapi hormone pengganti (THP) menggunakan hormone estrogen atau kombinasi estrogen dan progesterone. Hormone-hormon tersebut sebenarnya secara alamiah diproduksi oleh indung telur, tetapi produksinya semakin menurun selama menopause sehingga perlu dilakukan HRT.
Penggunaan estrogen memang efektif  dalam upaya pengobatan dan pencegahan osteoporosis. Namun, tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya efek samping berupa munculnya kanker endometrium (dinding rahim). Dengan adanya hormone tersebut akan merangsang pertumbuhan sel-sel di dinding rahim yang apabila pertumbuhannya terlalu pesat dapat berkembang menjadi kanker ganas. Oleh karena itu, penggunaan estrogen biasanya di kombinasikan dengan progesterone untuk mengurangi resiko tersebut.
Efek lain yang juga dapat timbul dalam pemberian terapi hormone, diantaranya adalah pembesaran payudara, kembung, retensi cairan, mual, muntah, sakit kepala, gangguan pencernaan, dan gangguan emosi. Namun, demikian, efek tersebut biasanya hanya terjadi pada awal terapi dan kondisi berangsur membaik dengan sendirinya. Dapat juga dilakukan pemberian hormone estrogen dan progesterone secara bertahap, dosis kecil diberikan pada awal terapi dilihat dulu reaksinya terhadap tubuh. Bila dosis dapat diterima tubuh, dosis kemudian dinaikkan secara bertahap.
b.      Kalsitonin
Selain hormone estrogen dan progesterone, hormone lain yang biasa digunakan dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis adalah kalsitonin. Kalsitonin turut menjaga kestabilan struktur tulang dengan mengaktifkan kerja sel osteoblast dan menekan kinerja sel osteoclast.
Kalsitonin juga berperan dalam mengurangi rasa sakit yang mungkin timbul pada keadaan patah tulang. Hormone ini secara normal dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang memiliki sifat meredakan rasa sakit yang cukup ampuh. Kalsitonin biasanya diberikan dalam bentuk suntikan yang diberikan setiap hari atau dua hari sekali selama dua atau tiga minggu. Hormone ini juga dapat menimbulkan efek samping  berupa  rasa mual dan muka merah, mungkin pula terjadi muntah dan diare serta rasa sakit pada bekas suntikan.
c.       Testosterone
Testosterone adalah hormone yang biasa dihasilkan oleh tubuh pria. Penggunaan hormone testosterone pada wanita dengan osteoporosis pasca menopause mampu menghambat kehilangan massa tulang. Namun, dapat muncul efek maskulinasi seperti penambahan rambut secara berlebihan di dada, kaki, tangan, timbulnya jerawat dimuka dan pembesaran suara seperti yang biasa terjadi pada pria.
3.      Terapi non-hormonal
Terapi hormone selama ini memang dianggap sebagai jalan yang paling baik untuk mengobati osteoporosis. Namun, karena banyaknya efek samping yang dapat ditimbulkan  dan tidak dapat diterapkan pada semua pasien osteoporosis, maka sekarang mulai dikembangkan terapi non-hormonal.
a.       Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan golongan obat sintetis yang saat ini sangat dikenal dalam pengobatan osteoporosis non-hormonal. Efek utama dari obat ini adalah menonaktifkan sel-sel penghancur tulang (osteoclast) sehingga penurunan massa tulang dapat dihindari. Obat-obat yang termasuk golongan bisfosfonat adalah etidronat dan alendronat.
b.      Etidronat
Etidronat adalah obat golongan bisfosfonat pertama yang biasa digunakan dalam pengobatan osteoporosis. Obat ini diberikan dalam bentuk tablet dengan dosis satu kali sehari selama dua minggu. Penggunaan obat ini harus dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium. Namun, perlu diperhatikan agar konsumsi suplemen kalsium harus dihindari dalam waktu dua jam sebelum dan sesudah mengkonsumsi etidronat karena dapat mengganggu penyerapannya. Kadang kala konsumsi etidronat memberikan efek samping,tetapi relative kecil. Misalnya timbul mual, diare, ruam kulit dan lain-lain.
c.       Alendronat
Alendornat mempunyai fungsi dan peran yang serupa dengan etidronat, perbedaannya adalah pada penggunaannya tidak perlu dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium, tetapi  bila asupan kalsium masih rendah, pemberian kalsium tetap dianjurkan. Efek samping yang mungkin ditimbulkan pada konsumsi alendronat adalah timbulnya diare, rasa sakit dan kembung pada perut, serta gangguan pada tenggorokan.
4.      Terapi alamiah
Terapi alamiah adalah terapi yang diterapkan untuk mengobati osteoporosis tanpa menggunakan obat-obatan atau hormone. Terapi ini berhubungan dengan gaya hidup dan pola konsumsi. Beberapa pencegahan yang dapat diberikan yaitu dengan berolahraga secara teratur, hindari merokok, hindari minuman beralkohol dan menjaga pola makan yang baik.
G.    Pemeriksaan Diagnostik
Sebenarnya langkah terbaik dalam penanganan osteoporosis adalah pencegahan karena bila sudah terkena susah, bahkan tidak dapat dipulihkan. Seyogyanya, sedini mungkin dilakukan diagnosis untuk mendeteksi keadaan massa tulang sebelum  terjadi akibat yang lebih fatal seperti  terjadinya patah tulang . penilaian langsung tulang untuk mengetahui ada tidaknya osteoporosis  dapat dilakukan dengan berbagai cara , yaitu sebagai berikut :
1.      Pemeriksaan radiologic
Saat ini, sing dkk telah mengembangkan indeks sing untuk mengukur ketebalan colum femaris  dan komponen-komponen trabekulasinya  secara radiologic . caranya dengan menganalisis  komponen-komponen yang berkolerasi  cukup tepat dengan adanya osteoporosis. Namun hasil pengukuran  pengukuran ini masih sangat lemah untuk mendiagnosis  adanya osteoporosis. Pada pemeriksaan radiologic  ini digunakan X-ray konvensional sehingga osteoporosis  baru akan terlihat apabila massa tulang sudah berkurang hingga 30% atau lebih.
2.      Pemeriksaan radioisotope
Pemeriksaan ini menggunakan sinar foton radionuklida yang dapat mendeteksi  densitas tulang dan ketebalan korteks tulang. Ada dua jenis pemeriksaan yaitu : single photon absorptiometry dan dual photon absorptiometry.
a.       Single photon absorptiometry (SPA) sinar photon bersumber dari 1-125 dengan dosis 200 mci yang diperiksa.
b.      Dual photon absorptiometry (DPA) sinar photon bersumber dari nuklida  GA-135 sebanyak 1,5 Cl  yang mempunyai energy (44 kev dan 100 kev). Pemeriksaan ini digunakan  untuk mengukur vertebra  dan colum femoris.
3.      Pemeriksaan Quantitative
Computerized Tamography (QCT). Quantitative computerized tomography (QCT) merupakan salah satu cara yang dipakai untuk mengukur mineral tulang karena dapat menilai secara volumetric trabekulasi  tulang radius , tibia, dan vertebra.  keuntungan QCT adalah tidak dipengaruhi  oleh korteks  dan artefak  kalsifikasi osteosit  dan kalsifikasi  aorta, serta tidak perlu diperhitungkan  dengan berat badan dan tinggi badan. Kerugiannya adalah paparan radiasinya  yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pemeriksaan lainnya.
4.      Magnetic resonance imaging (MRI)
Cara ini dapat mengukur struktur trabekuler tulang dan kepadatannya. Alat tersebut tidak memakai radiasi, melainkan hanya dengan lapangan  magnet yang sangat kuat. Sayangnya pemeriksaan ini mahal dan membutuhkan sarana yang banyak.
5.      Quantitative Ultra Sound (QUS)
Cara ini menggunakan kecepatan gelombang suara ultra yang menembus tulang. Kemudian dinilai atenuasi  kekuatan dan daya tembus melalui tulang yang dinyatakan  sebagai pita lebar ultrasonic (ultrasound broad band ) dan kekuatan (stiffness). Keuntungannya  adalah mudah  dibawah kemana-mana , tetapi kerugiannya adalah tidak dapat  mengetahui lokalisasi osteoporosis  secara tepat.
6.      Densitometer (X-ray absorptiometry)
Menggunakan radiasi sinar X  yang sangat rendah. Ada dua jenis X-ray absorptiometry yaitu SXA (Single X-ray absorptiometry) yang juga disebut scan tulang. Pengukuran dilakukan  pada tulang yang kemungkinan mudah patah, seperti tulang belakang, pinggul, dan pergelangan tangan  atau seluruh rangka tubuh.
Nilai massa tulang yang didapat dari pengukuran ini disebut kerapatan mineral tulang (BMD= bone mineral density). Pengukuran ini tidak menimbulkan rasa sakit, mudah dilakukan, hasil pemeriksaan diperoleh dalam waktu singkat, dan relative aman. Walaupun menggunakan sinar X, tingkat radiasinya sangat kecil ,  seingkali lebih kecil dari radiasi alamiah. Oleh karenanya, pengukuran dapat dilakukan pada anak-anak dan ibu hamil, serta dapat pula di ulang bila diperlukan.
7.      Tes darah dan urine
Sebenarnya osteoporosis tidak dapat di deteksi menggunakan tes darah dan urine. Namun demikian tes itu  kedua tes ini masih mungkin dilakukan untuk mengetahui  dan melihat kondisi lain yang terkait  dengan hilangnya  massa tulang.











BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A.    Pengkajian
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita, mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapat diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik dan riwayat psikososial.
1.      Anamnese
a.       Identitas
1)      Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya.
2)      Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b.      Riwayat Kesehatan
Dalam pengkajian riwayat kesehatan, perawat perlu mengidentifikasi adanya:
1)      Rasa nyeri atau sakit tulang punggung (bagian bawah), leher,dan pinggang
2)      Berat badan menurun
3)      Biasanya diatas 45 tahun
4)      Jenis kelamin sering pada wanita
5)      Pola latihan dan aktivitas
c.       Pola aktivitas sehari-hari
Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olahraga, pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, makan, mandi, dan toilet. Olahraga dapat membentuk pribadi yang baik dan individu akan merasa lebih baik. Selain itu, olahraga dapat mempertahankan tonus otot dan gerakan sendi. Lansia memerlukan aktifitas yang adekuat untuk mempertahankan fungsi tubuh. Aktifitas tubuh memerlukan interaksi yang kompleks antara saraf dan muskuloskeletal.
Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan menurunnya gerak persendian adalah agility ( kemampuan gerak cepat dan lancar ) menurun, dan stamina menurun.
2.      Pemeriksaan Fisik
a.       B1 (Breathing)
Inspeksi           : Ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang
Palpasi : Taktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi            : Cuaca resonan pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Pada kasus lanjut usia, biasanya didapatkan suara ronki
b.      B2 ( Blood)
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik, sering terjadi keringat dingin dan pusing. Adanya pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh darah atau edema yang berkaitan dengan efek obat.
c.       B3 ( Brain)
Kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih parah, klien dapat mengeluh pusing dan gelisah.
1)      Kepala dan wajah : ada sianosis
2)      Mata                                  : Sklera biasanya tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis
3)      Leher                                 : Biasanya JVP dalam normal
Nyeri punggung yang disertai pembatasan pergerakan spinal yang disadari dan halus merupakan indikasi adanya satu fraktur atau lebih, fraktur kompresi vertebra
d.      B4 (Bladder)
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada sistem perkemihan.
e.       B5 ( Bowel)
Untuk kasus osteoporosis, tidak ada gangguan eliminasi namun perlu di kaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses.
f.       B6 ( Bone)
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis. Klien osteoporosis sering menunjukan kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan dan berat badan. Ada perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang sering terjadi adalah antara vertebra torakalis 8 dan lumbalis 3.
3.      Pemeriksaan penunjang
a.       Radiologi
Gejala radiologi yang khas adalah densitas atau massa tulang yang menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat korpus vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisan korteks dan hilangnya trabekula transversal merupakan kelainan yang sering ditemukan. Lemahnya korpus vertebrae menyebabkan penonjolan yang menggelembung dari nucleus pulposus kedalam ruang intervertebral dan menyebabkan deformitas bikonkaf.
b.      CT-Scan
Dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral vertebra diatas 110 mg/cm3 biasanya tidak menimbulkan fraktur vertebra atau penonjolan, sedangkan mineral vertebra dibawah 65 mg/cm3  ada pada hampir semua klien yang mengalami fraktur.
B.     Analisa Data
No
Data
Etiologi
Problem
1.
DS :
-          Pasien mengatakan Nyeri Tulang, belakang yang intensitas serangannya meningkat pada malam hari.(skala : 1-10).
-          Pasien mengatakan Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang.
-          Pasien mengatakan Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur
DO :
-          Pasien kelihatan menahan nyeri.
-          Pasien tidak bisa bergerak bebas
Tulang rapuh dan mudah patah akan menyebabkan Fraktur yang akan mengakibatkan Gangguan pada fungsi ekstremitas atas dan bawah sehingga Pergerakan fragmen tulang, spasme otot dan akan menimbulkan masalah Nyeri

Nyeri berhubungan dengan dampak skunder dari fraktur vertebra
2.
DS :
-          Pasien mengatakan aktivitasnya terganggu
-          Pasien mengatakan kesulitan dalam bergerak
DO :
-          Pasien mengalami kesulitan bergerak tempat tidur
-          Pasien terlihat terbaring lemah di tempat tidur
Tulang rapuh dan mudah patah akan menyebabkan pasien Jatuh sehingga terjadi Deformitas skelet
Sehingga menyebabkan Berkurangnya kemampuan pergerakan yang akan menyebabkan masalah hambatan mobilitas fisik.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat perubahan skeletal (kifosis) atau fraktur baru
3.
DS :
-          Pasien mengatakan lemas Dan kaku
DO :
-          Pasien tampak lemah
Osteoporosis akan menyebabkan Tulang rapuh dan mudah patah sehingga pasien mudah Jatuh/kecelakaan yang akan menyebabkan masalah Resiko Tinggi Cidera
Risiko tinggi injury atau fraktur berhubungan dengan kecelakaan ringan/jatuh
4.



5.











C.    Penyimpangan KDM Osteoporosis

Normal ( Osteoblast lebih besar daripada osteoklast)
                 Penurunan Faali
                  
 Menopouse                                    Kurangnya kalsium          Disebabkan keadaan medis atau obat-obatan               Tidak diketahui penyebabnya
Kurangnya hormon estrogen          Reabsorpsi berkurang       GGK dan kelainan hormonal
 
                                                                          Penyerapan tulang lebih banyak daripada pembentukan baru
                                                                                 ( Osteoklas lebih besar daripada osteoblast)
Defisiensi Pengetahuan
                                                                                Massa tulang menurun / densitasnya menurun
                                                                                     OSTEOPOROSIS             Kurang informasi            
 

    Pengaruhnya pada fisik                                                                                 Psikososial
   Fungsi tubuh menurun :                       Keterbatasan lingkup gerak               Konsep diri
Gangguan harga diri rendah
Hambatan mobilitas fisik
  Nyeri punggung                                 Pembatasan gerak dan latihan             Gambaran body image
                                                                



                   Primer                                                                                     Sekunder                                             Osteoporosis idiopatik
                                                                                                             Pemberian steroid
Post menopouse                       Senile osteoporosis                          Osteoblast terganggu
                                                                                                      Tulang mudah rapuh dan patah
Reabsorpsi tulang meningkat        Absorbsi kalsium meningkat
Resiko cedera
Fraktur vertebrata
Nyeri




D.    Diagnosa Keperawatan
1.      Nyeri
2.      Hambatan mobilitas fisik
3.      Gangguan harga diri rendah
4.      Resiko cedera
5.      Defisiensi pengetahuan
E.     Intervensi
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
INTERVENSI
1.
Nyeri
Definisi : Sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara actual atau potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya
kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri Internasional):
serangan mendadak atau pelan intensitasnya dari
ringan sampai berat yang dapat diantisipasi dengan
akhir yang dapat diprediksi dan dengan durasi
kurang dari 6 bulan.
Batasan karakteristik :
-          Laporan secara verbal atau non verbal.
-          Fakta dari observasi.
-          Posisi antalgic untuk menghindari nyeri.
-          Gerakan melindungi.
-          Tingkah laku berhati-hati.
-          Muka topeng.
-          Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai).
-          Terfokus pada diri sendiri.
-          Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan).
-          Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang).
-          Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil)
-          Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku).
-          Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah).
-          Perubahan dalam nafsu makan dan minum.
Faktor yang berhubungan :
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis)
NOC :
-          Pain Level, Pain control,
-          Comfort level
Kriteria Hasil :
-          Mampu mengontrol  nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurang  nyeri, mencari bantuan).
-          Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri.
-          Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas,  frekuensi dan tanda nyeri).
-          Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
Pain Management
-          Lakukan  pengkajian nyeri  secara  komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan factor presipitasi.
-          Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
-          Gunakan  teknik komunikasi  terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien.
-          Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri.
-          Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.
-          Evaluasi  bersama  pasien  dan  tim  kesehatan  lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau.
-          Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan.
-          Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
-          Kurangi faktor presipitasi nyeri.
-          Pilih dan  lakukan  penanganan  nyeri  (farmakologi, non farmakologi dan inter personal).
-          Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.
-          Ajarkan tentang teknik non farmakologi.
-          Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
-          Evaluasi keefektifan kontrol nyeri.
-          Tingkatkan istirahat.
-          Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil.
-          Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
-          Tentukan  lokasi, karakteristik,  kualitas,  dan  derajat nyeri sebelum pemberian obat.
-          Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi.
-          Cek riwayat alergi.
-          Pilih analgesic yang  diperlukan  atau  kombinasi  dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu.
-          Tentukan  pilihan analgesik tergantung tipe dan  beratnya nyeri.
-          Tentukan  analgesik pilihan, rute  pemberian,  dan  dosis optimal.
-          Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur.
-          Monitor  vital  sign  sebelum  dan  sesudah  pemberian analgesik pertama kali.
-          Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat.
-          Evaluasi  efektivitas analgesik,  tanda dan  gejala  (efek samping).
2.
Defisiensi Pengetahuan
Definisi : Tidak adanya atau kurangnya informasi kognitif sehubungan dengan topic spesifik.
Batasan karakteristik : memverbalisasikan adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai.
Faktor yang berhubungan : keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.

NOC :
-          Kowlwdge : disease process.
-          Kowledge : health Behavior
Kriteria Hasil :
-          Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan.
-          Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar.
-          Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya
NIC :
Teaching : disease Process
-          Berikan  penilaian tentang  tingkat  pengetahuan  pasien tentang proses penyakit yang spesifik.
-          Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
-          Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat.
-          Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat.
-          Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat.
-          Sediakan  informasi  pada  pasien tentang  kondisi, dengan cara yang tepat.
-          Hindari harapan yang kosong.
-          Sediakan  bagi keluarga  informasi  tentang  kemajuan pasien dengan cara yang tepat.
-          Diskusikan  perubahan  gaya  hidup  yang  mungkin diperlukan  untuk mencegah  komplikasi  di masa  yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit.
-          Diskusikan pilihan terapi atau penanganan.
-          Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan  second  opinion dengan cara  yang  tepat atau diindikasikan.
-          Eksplorasi  kemungkinan  sumber  atau  dukungan, dengan cara yang tepat.
-          Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat.
-          Instruksikan  pasien  mengenai tanda  dan  gejala untuk melaporkan  pada  pemberi perawatan  kesehatan, dengan cara yang tepat.               
3.
Hambatan mobilitas fisik
Defenisi : keterbatasan pada pergerakan fisik
Tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara
Mandiri atau terarah
NOC
·         Joint movement: active
·         Mobility level
·         Self care : ADLs
Kriteria hasil :
·         Klien meningkat dalam aktifitas fisik
·         Mengerti tujuan dari peningkatan mobilias
·         Memverbalisasikan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah
·         Memperagakan penggunaan alat bantu
Untuk mobilisasi
NIC:
Exercise theraphy : ambulation
·         Monitoring vital sign sebelum/sesudah
latihan dan lihat respon pasien saat latihan
·         Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
·         Bantu klien untuk menggunakan tongkat
Saat berjalan dan cegah terhadap cedera
·         Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan
Lain tentang teknik ambulasi
·         Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
·         Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri sesuai dengan
Kemampuan
·         Damping dan bantu pasien saat mobilisasi
Dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien
·         Berikan alat bantu jika klien memerlukan
4.
Risiko cidera
Definisi : beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensive  individu.
NOC
·         Risk control
Kriteria hasil :
-          Klien terbebas dari cedera
Klien mampu menjelaskan cara atau metode
Untuk mencegah injury/cedera
·         Klien mampu menjelaskan factor resiko dari
Lingkungan / perilaku personal
·         Mampu memodifikasi gaya hidup untuk
Mencegah injury/ cedera
·         Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
·         Mampu mengenali perubahan status
Kesehatan.
NIC
Environment management (manajemen lingkungan
·         Sediakan lingkungan yang aman untuk
Pasien
·         Identifikasi kebutuhan keamanan pasien
Sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi
Kognotif pasien dan riwayat penyakit
Terdahulu pasien.
·         Menghindari lingkungan yang berbahaya
(memindahkan perabotan)
·         Menyediakan tempat tidur yang nyaman
Dan bersih
·         Menganjurkan keluarga pasien untuk
Menemani pasien
·         Memindahkan barang-barang yang dapat
Membahayakan


Harga diri rendah situasional
Definisi : Perkembangan persepsi negative
Tentang harga diri sebagai respon terhadap
Situasi saat ini
NOC
·         Body image
·         Coping ineffective
Kriteria hasil :
·         Adaptasi terhadap ketunandayaan
Fisik: respon adaptif klien terhadap
Tantangan fungsional penting akibat
Ketunandayaan fisik
·         Resolusi berduka : penyusuaian dengan
Kehilangan actual atau kehilangan yang
Akan terjadi
·         Penyusuaian psikososial: perubahan hidup
Respon psikososial adaptif individu terhadap
Perubahan bermakna dalam hidup
·         Mengungkapkan penerimaan diri
Komunikasi terbuka
·         Menggunakan strategi koping efektif
NIC
Self estreem enhancement
·         Tunjukan rasa percaya diri terhadap
Kemampuan pasien untuk mengatasi
Situasi
·         Dorong pasien mengidentifikasi kekuatan
Dirinya
·          Ajarkan keterampilan perilaku yang positif
Melalui bermain peran, atau diskusi
·         Monitor frekuensi komunikasi verbal
Pasien yang negative
·         Kaji alasan-alasan untuk mengkritik atau
Menyalahkan diri sendiri



F.     Implementasi
Selama tahap implementasi, perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi keperawatan diimplementasikan untuk membantu klien memenuhi kebutuhan yang telah direncanakan.
G.    Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
1.      Nyeri berkurang
2.      Terpenuhinya kebutuhan mobilitas fisik
3.      Status psikologi yang seimbang
4.      Tidak terjadi cedera
5.      Terpenuhinya kebutuhan, pengetahuan dan informasi












BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Osteoporosis merupakan kondisi terjadinya penurunan densitas/ matriks/massa tulang, peningkatan prositas tulang, dan penurunan proses mineralisasi deisertai dengan kerusakakn arsitektur mikro jaringan tulang yang mengakibatkan penurunan kekokohan tulang sehingga tulang menjadi mudah patah.
Beberapa faktor resiko Osteoporosis antara lain yaitu : usia, genetik, defisiensi kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, siklosporin), merokok, alcohol serta sifat fisik tulang (densitas atau massa tulang) dan lain sebagainya.
Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur kompresi. Fraktur kompresi ganda vertebra mengakibatkan deformitas skelet.
B.     Saran
1.      Lansia
Harus lebih memperhatikan kesehatan dengan menghindari faktor-faktor resiko osteoporosis serta memenuhi asupan gizi yang lengkap terutama untuk tulang
2.      Tenaga medis
Sebagai seorang tenaga medis harus mampu memberikan pendidikan kesehatan yang baik terutama bagi lansia sehingga dapat menghindarkan atau mencegah terjadinya penyakit osteoporosis
3.      Mahasiswa
Harus lebih memahami tentang asuhan keperaawatan pada gangguan system musculoskeletal “osteoporosis” sehingga mampu menerapkannya di lhan praktik demi memberi pelayanan kesehatan yang baik bagi klien.




DAFTAR PUSTAKA
Purwoastuti Endang. 2009. Waspada ! OSTEOPOROSIS. Yogyakarta. Kanisius
Emma Wirakusumah.2007. Mencegah Osteopporosis. Jakarta. Penebar plus
Tandra hans. 2009. Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang osteoporosis mengenal, mengatasi dan mencegah Tulang Keropos. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Suratun, Heryati. 2008. KLIEN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL : SERI ASUHAN KEPERAWATAN. Jakarta : EGC
Rosyidi Kholid. 2013. MUSKULOSKELETAL. Jakarta : CV. TRANS INFO MEDIA
Lukman, Ningsih Nurma. 2012. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL. Jakarta : Salemba Medika