BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu masalah gangguan kesehatan yang menonjol pada usia lanjut adalah gangguan
muskoloskeletal, terutama osteoartritis dan osteoporosis. Menghadapi problem
ini tanpa adanya persiapa yang baik, di khawatirkan akan menjadikan beban yang
akan di tanggung pemerintah, masyarakat, dan warga usia lanjut dengan keluarga akan menjadi sangat besar dan akan menghambat perkembangan ekonomi serta memperburuk kualitas hidup manusia
secara utuh (isbagio H dalam Daniel, 2007).
Osteoporosis adalah suatu problem klimakterium yang
serius. Di amerika serikat dijumpai satu
kasus osteoporosis di antara dua sampai
tiga wanita pascamonopause. Massa tulang pada manusia mencapai maksimum pada
usia sekita 35 tahun, kemudian terjadi penurunan massa tulang secara
eksponensial. Penurunan massa tulang ini berkisar antara 3-5% setiap decade, sesuai dengan
kehilangan massa otot dan hal ini di
alami baik pada pria dan wanita. Pada masa klimakterium, penurunan massa tulang
pada wanita lebih mencolok dan dapat
mencapai 2-3% setahun secara
eksponensial. Pada usia 70 tahun
kehilangan massa tulang pada wanita
ini baru mencapai 25%
(Gonta,P.1996).
Kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan
pembentukan tulang, sehingga dapat menurunkan massa tulang total.
Osteoporosis adalah penyakit yang
mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah,
disertai mikroarsitektur tulang
dan penurunan kualitas jaringan tulang
yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang.
Tulang secara progresif menjadi rapuh
dan mudah patah. Tulang menjadi mudah patah dengan stres, yang pada tulang
normal tidak menimbulkan pengaruh. Sherwood (2001), mengatakan selama dua
decade pertama kehidupan, saat terjadi pertumbuhan, pengendapan tulang melebihi
resorpsi tulang dibawah pengaru hormone pertumbuhan. Sebaiknya pada usia 50-6-
tahun, resorpsi tulang melebihi pembentukan tulang. Kalsitonin yang menghambat resorpsi tulang dan
merangsang pembentukan tulang mengalami penurunan. Hormone paratiroid meningkat
bersama bertambahnya dan meningkatkan
resorpsi tulang. Hormone estrogen yang menghambat pemecahan tulang, juga berkurang bersama
bertambahnya usia.
Menurut Ganong (2003), perempuan dewasa memiliki massa
tulang yang lebih sedikit daripada pria
dewasa, dan setelah menopause mereka mulai kehilangan tulang lebih cepat daripada pria. Akibatnya
perempuan lebih rentang menderita ospteoporosis serius. Penyebab utama
berkurangnya tulang setelah menopause adalah defesiensi hormone estrogen. Pada osteoporosis, matriks
dan mineral tulang hilang, hingga massa dan kekuatan tulang, dengan peningkatan
fraktur.
Osteoporosis sering menimbulkan fraktur kompresi pada
vertebra torakalis. Terdapat penyempitan
diskus vertebra, apabila penyebaran
berlanjut keseluruh korpus vertebra akan menimbulkan kompresi vertebra dan terjadi gibus. Fraktur kolum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan
lebih sering pada perempuan, yang disebabkan oleh penuaan dan osteoporosis
pascamenopause.
Kolaps bertahap tulang vertebra mungkin tidak menimbulkan
gejala, namun terlihat sebagai kifosis progresif. Kifosis dapat mengakibatkan
pengurangan tinggi badan. Pada beberapa perempuan dapat kehilangan tinggi badan sekitar 2,5-15 cm, akibat kolaps
vertebra.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana konsep medis osteoporosis ?
2.
Bagaimana konsep asuhan keperawatan osteoporosis ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui konsep medis osteoporosis.
2.
Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan
osteoporosis.
BAB II
KONSEP MEDIS OSTEOPOROSIS
A.
Defenisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa
tulang secara nyata yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang, sehingga
tulang menjadi keropos dan rapuh. “Osto” berarti tulang, sedangkan “porosis”
berarti keropos. Tulang yang mudah patah akibat Osteoporosis adalah tulang
belakang, tulang paha, dan tulang pergelangan tangan (Endang Purwoastuti :
2009) .
Osteoporosis yang dikenal dengan keropos tulang menurut
WHO adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang
rendah dan perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat
meningkatnya fragilitas tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap tulang
patah. Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan massa tulang total
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Menurut konsesus di Kopenhagen 1990, osteoporosis
didefinisikan sebagai suatu penyakit dengan karakteristik massa tulang yang
berkurang dengan kerusakan mikroarsitektur jaringan yang menyebabkan kerapuhan
tulang dan resiko fraktur yang meningkat (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis adalah suatu keadaan dimana
terdapat pengurangan jaringan tulang per unit volume,sehingga tidak mampu
melindungi atau mencegah terjadinya fraktur terhadap trauma minimal (Kholid
Rosyidi : 2013).
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan
massa tulang total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal,
kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang,
pengakibatkan penurunan masa tulang total. Tulang secara progresif menjadi
porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur dengan stres yang
tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal (Brunner&Suddarth,
2000).
B.
Klasifikasi
Osteoporosis
Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok
yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer
terdapat pada wanita postmenopause (postmenopause
osteoporosis) dan pada laki-laki lanjut usia (senile osteoporosis). Penyebab osteoporosis belum diketahui dengan
pasti. Sedangkan osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang
berhubungan dengan Kelainan endokrin misalnya Chusing’s disease, hipertiriodisme, hiperparatiriodisme,
hipogonadisme, kelainan hepar, gagal ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan
minum alcohol, pemakaian obat-obatan/kortikosteroid, kelebihan kafein, dan
merokok (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Djuwantoro (1996), membagi osteoporosis menjadi
osteoporosis postmenopause (Tipe I), Osteoporosis involutional (Tipe II), osteoporosis idiopatik, osteoporosis
juvenil dan osteoporosis sekunder.
1.
Osteoporosis Postmenopause (Tipe I)
Merupakan bentuk yang
paling sering ditemukan pada wanita kulit putih dan Asia. Bentuk osteoporosis
ini disebabkan oleh percepatan resopsi tulang yang berlebihan dan lama setelah
penurunan sekresi hormon estrogen pada masa menopause.
2.
Osteoporosis involutional (Tipe II)
Terjadi pada usia diatas
75 tahun pada perempuan maupun laki-laki. Tipe ini diakibatkan oleh
ketidakseimbangan yang samar dan lama antara kecepatan resorpsi tulang dengan
kecepatan pembentukan tulang.
3.
Osteoporosis idiopatik
Adalah tipe osteoporosis
primer yang jarang terjadi pada wanita premenopouse dan pada laki-laki yang
berusi di bawah 75 tahun. Tipe ini tidak berkaitan dengan penyebab sekunder
atau faktor resiko yang mempermudah timbulnya penurunan densitas tulang.
4.
Osteoporosis juvenil
Merupakan bentuk yang
paling jarang terjadi dan bentuk osteoporosis yang terjadi pada anak-anak
prepubertas.
5.
Osteoporosis sekunder.
Penurunan densitas
tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur atraumatik akibat faktor
ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid, atraumatik reumatoid, kelainan
hati/ ginjal kronis, sindrom malabsorbsi, mastisitosis sistemik,
hipertiriodisme , varian status hipogonade dan lain-lain.
C.
Etiologi Osteoporosis
Osteoporosis postmenopouse
terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu
mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala
timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul
lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama
untuk menderita osteoporosis postmenopouse, pada wanita kulit putih dan daerah
timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam (Lukman,
Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari
kekurangan kasium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara
kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu
keadaan penurunan masa tulang yang hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini
biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan dua kali lebih sering menyerang
wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan postmenopouse
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga
mengalami osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya
atau oleh obet-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis
dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan obat-
obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang, hormon tiroid yang
berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok bisa
memperburuk keadaan ini (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis
osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak
dan dewasa yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya
tulang (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya
osteoporosis. Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat
risiko fraktur daripada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini
tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang normal.
Setiap individu memiliki ketentuan normal sesuai dengan sifat genetiknya beban
mekanis dan besar badannya. Apabila individu dengan tulang besar, kemudian
terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan dengan
lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih mempunyai tulang lebih
banyak daripada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
D.
Patofisiologi
Osteoporosis
Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi
kafein, dan alkohol), dan aktivitas mempengaruhi puncak massa tulang.
Kehilangan masa tulang mulai terjadi setelah tercaipainya puncak massa tulang.
Pada pria massa tulang lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal
mendadak. Sedangkan pada perempuan, hilangnya estrogen pada saat
menopouse dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi
tulang dan berlangsung terus selama tahun-tahun pasca menopouse (Lukman, Nurma
Ningsih : 2009).
Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi
untuk mempertahankan remodelling tulang selama bertahun-tahun mengakibatkan
pengurangan massa tulang dan fungsi tubuh. Asupan kasium dan vitamin D yang
tidak mencukupi selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang
dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan harian kalsium yang dianjurkan (RDA :
recommended daily allowance) meningkat pada usia 11 – 24 tahun (adolsen dan
dewasa muda) hingga 1200 mg per hari, untuk memaksimalakan puncak massa tulang.
RDA untuk orang dewasa tetap 800 mg, tetapi pada perempuan pasca menoupose
1000-1500 mg per hari. Sedangkan pada lansia dianjurkan mengkonsumsi kalsium dalam
jumlah tidak terbatas. Karena penyerapan kalsium kurang efisisien dan cepat
diekskresikan melalui ginjal (Smeltzer, 2002).
Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh
tubuh) dan eksogen dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid
yang lama, sindron Cushing, hipertiriodisme dan hiperparatiriodisme menyebabkan
kehilangan massa tulang. Obat- obatan seperti isoniazid, heparin tetrasiklin,
antasida yang mengandung alumunium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid
dan suplemen tiroid mempengaruhi penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium.
Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis.
Ketika diimobilisasi dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan
diresorpsi lebih cepat dari pembentukannya sehingga terjadi osteoporosis.
E.
Manifestasi Klinis
Osteoporosis
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada
awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika
kepadatan tulang sangat berkurang yang menyebabkan tulang menjadi kolaps atau hancur,
maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-tulang yang terutama
terpengaruh pada osteoporosis adalah radius distal, korpus vertebra terutama
mengenai T8-L4, dan kollum femoris (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung
menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau
karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di
daerah tertentu dari pungung yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri
atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi
biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu
atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk
kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk), yang menyebabkan
terjadinya ketegangan otot dan rasa sakit (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan
oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling
serius adalah patah tulang panggul. Selain itu , yang juga sering terjadi
adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan
pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Pada penderita osteoporosis,
patah tulang cenderung mengalami penyembuhan secara perlahan (Lukman, Nurma
Ningsih : 2009).
F.
Pengobatan Osteoporosis
Pengobatan osteoporosis yang telah lama digunakan yaitu
terapi medis yang lebih menekankan pada pengurangan atau meredakan rasa sakit
akibat patah tualng. Selain itu, juga dilakukan terapi hormone pengganti (THP)
atau hormone replacement therapy (HRT) yaitu menggunakan estrogen dan
progresteron. Terapi lainnya yaitu terapi non hormonal antara lain suplemen
kalsium dan vitamin D.
1.
Terapi medis
Sebenarnya belum ada
terapi yang secara khusus dapat mengembalikan efek dari osteoporosis. Hal yang
dapat dilakukan adalah upaya-upaya untuk menekan atau memperlambat menurunnya
massa tulang serta mengurangi rasa sakit.
a.
Obat pereda sakit
Pada tahap awal setelah
terjadinya patah tulang, biasanya diperlukan obat pereda sakit yang kuat,
seperti turunan morfin. Namun, obat tersebut memberikan efek samping seperti
mengantuk, sembelit dan linglung. Bagi yang mengalami rasa sakit yang sangat
dan tidak dapat diredakan dengan obat pereda sakit, dapat diberikan suntikan
hormone kalsitonin.
Bila rasa sakit mulai
mereda, tablet pereda rasa sakit seperti paracetamol atau codein ataupun
kombinasi keduanya seperti co-dydramol, co- codramol, atau co-proxamol bagi
banyak pasien cukup memadai untuk menghilangkan rasa sakit sehingga pasien
dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
2.
Terapi hormone pada wanita
Osteoporosis memang
tidak dapat disembuhkan, semua upaya pengobatan hanya dimaksudkan untuk
mencegah kehilangan massa tulang yang lebih besar. Namun, demikian, pengobatan
masih perlu dilakukan pada kasus osteoporosis berat untuk mencegah terjadinya
patah tulang. Obat-obat untuk mencegah penurunan massa tulang biasanya bekerja
lambat dan efeknya kurang terasa sehingga banyak pasien penderita osteoporosis
merasa putus asa dan menghentikan pengobatan. Hal tersebut sangat tidak baik
karena pengobatan jangka panjang diperlukan untuk dapat secara maksimal menekan
laju penurunan massa tulang dan patah tulang.
Terapi hormone pada
wanita diberikan pada masa pramenopause. Lamanya pemberian terapi hormone sulit
ditentukan. Yang jelas jika ingin terhindar dari osteoporosis, terapi hormone
dapat terus dilakukan. Sebagian dokter menganjurkan untuk dilakukan terapi
hormone seumur hidup semenjak menopause pada wanita yang mengalami
osteoporosis. Namun, sebagian juga berpendapat bahwa penggunaan terapi hormone
sebaiknya dihentikan setelah penggunaan selama 5-10 tahun untuk menghindari
kemungkinan terjadinya kanker.
a.
Hormone Replacement Theraphy (HRT)
Hormone Replacement Theraphy
(HRT) atau terapi hormone pengganti (THP) menggunakan hormone estrogen atau
kombinasi estrogen dan progesterone. Hormone-hormon tersebut sebenarnya secara
alamiah diproduksi oleh indung telur, tetapi produksinya semakin menurun selama
menopause sehingga perlu dilakukan HRT.
Penggunaan estrogen
memang efektif dalam upaya pengobatan
dan pencegahan osteoporosis. Namun, tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya
efek samping berupa munculnya kanker endometrium (dinding rahim). Dengan adanya
hormone tersebut akan merangsang pertumbuhan sel-sel di dinding rahim yang
apabila pertumbuhannya terlalu pesat dapat berkembang menjadi kanker ganas.
Oleh karena itu, penggunaan estrogen biasanya di kombinasikan dengan
progesterone untuk mengurangi resiko tersebut.
Efek lain yang juga
dapat timbul dalam pemberian terapi hormone, diantaranya adalah pembesaran
payudara, kembung, retensi cairan, mual, muntah, sakit kepala, gangguan
pencernaan, dan gangguan emosi. Namun, demikian, efek tersebut biasanya hanya
terjadi pada awal terapi dan kondisi berangsur membaik dengan sendirinya. Dapat
juga dilakukan pemberian hormone estrogen dan progesterone secara bertahap,
dosis kecil diberikan pada awal terapi dilihat dulu reaksinya terhadap tubuh.
Bila dosis dapat diterima tubuh, dosis kemudian dinaikkan secara bertahap.
b.
Kalsitonin
Selain hormone estrogen
dan progesterone, hormone lain yang biasa digunakan dalam pencegahan dan
pengobatan osteoporosis adalah kalsitonin. Kalsitonin turut menjaga kestabilan
struktur tulang dengan mengaktifkan kerja sel osteoblast dan menekan kinerja
sel osteoclast.
Kalsitonin juga berperan
dalam mengurangi rasa sakit yang mungkin timbul pada keadaan patah tulang.
Hormone ini secara normal dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang memiliki sifat
meredakan rasa sakit yang cukup ampuh. Kalsitonin biasanya diberikan dalam
bentuk suntikan yang diberikan setiap hari atau dua hari sekali selama dua atau
tiga minggu. Hormone ini juga dapat menimbulkan efek samping berupa
rasa mual dan muka merah, mungkin pula terjadi muntah dan diare serta
rasa sakit pada bekas suntikan.
c.
Testosterone
Testosterone adalah
hormone yang biasa dihasilkan oleh tubuh pria. Penggunaan hormone testosterone
pada wanita dengan osteoporosis pasca menopause mampu menghambat kehilangan
massa tulang. Namun, dapat muncul efek maskulinasi seperti penambahan rambut
secara berlebihan di dada, kaki, tangan, timbulnya jerawat dimuka dan
pembesaran suara seperti yang biasa terjadi pada pria.
3.
Terapi non-hormonal
Terapi hormone selama
ini memang dianggap sebagai jalan yang paling baik untuk mengobati
osteoporosis. Namun, karena banyaknya efek samping yang dapat ditimbulkan dan tidak dapat diterapkan pada semua pasien
osteoporosis, maka sekarang mulai dikembangkan terapi non-hormonal.
a.
Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan
golongan obat sintetis yang saat ini sangat dikenal dalam pengobatan
osteoporosis non-hormonal. Efek utama dari obat ini adalah menonaktifkan
sel-sel penghancur tulang (osteoclast) sehingga penurunan massa tulang dapat
dihindari. Obat-obat yang termasuk golongan bisfosfonat adalah etidronat dan
alendronat.
b.
Etidronat
Etidronat adalah obat
golongan bisfosfonat pertama yang biasa digunakan dalam pengobatan
osteoporosis. Obat ini diberikan dalam bentuk tablet dengan dosis satu kali
sehari selama dua minggu. Penggunaan obat ini harus dikombinasikan dengan
konsumsi suplemen kalsium. Namun, perlu diperhatikan agar konsumsi suplemen
kalsium harus dihindari dalam waktu dua jam sebelum dan sesudah mengkonsumsi
etidronat karena dapat mengganggu penyerapannya. Kadang kala konsumsi etidronat
memberikan efek samping,tetapi relative kecil. Misalnya timbul mual, diare,
ruam kulit dan lain-lain.
c.
Alendronat
Alendornat mempunyai
fungsi dan peran yang serupa dengan etidronat, perbedaannya adalah pada
penggunaannya tidak perlu dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium,
tetapi bila asupan kalsium masih rendah,
pemberian kalsium tetap dianjurkan. Efek samping yang mungkin ditimbulkan pada
konsumsi alendronat adalah timbulnya diare, rasa sakit dan kembung pada perut,
serta gangguan pada tenggorokan.
4.
Terapi alamiah
Terapi alamiah adalah
terapi yang diterapkan untuk mengobati osteoporosis tanpa menggunakan
obat-obatan atau hormone. Terapi ini berhubungan dengan gaya hidup dan pola
konsumsi. Beberapa pencegahan yang dapat diberikan yaitu dengan berolahraga
secara teratur, hindari merokok, hindari minuman beralkohol dan menjaga pola
makan yang baik.
G.
Pemeriksaan Diagnostik
Sebenarnya langkah terbaik dalam penanganan osteoporosis
adalah pencegahan karena bila sudah terkena susah, bahkan tidak dapat
dipulihkan. Seyogyanya, sedini mungkin dilakukan diagnosis untuk mendeteksi
keadaan massa tulang sebelum terjadi
akibat yang lebih fatal seperti
terjadinya patah tulang . penilaian langsung tulang untuk mengetahui ada
tidaknya osteoporosis dapat dilakukan
dengan berbagai cara , yaitu sebagai berikut :
1.
Pemeriksaan radiologic
Saat ini, sing dkk telah
mengembangkan indeks sing untuk mengukur ketebalan colum femaris dan komponen-komponen trabekulasinya secara radiologic . caranya dengan
menganalisis komponen-komponen yang
berkolerasi cukup tepat dengan adanya
osteoporosis. Namun hasil pengukuran
pengukuran ini masih sangat lemah untuk mendiagnosis adanya osteoporosis. Pada pemeriksaan
radiologic ini digunakan X-ray konvensional
sehingga osteoporosis baru akan terlihat
apabila massa tulang sudah berkurang hingga 30% atau lebih.
2.
Pemeriksaan radioisotope
Pemeriksaan ini
menggunakan sinar foton radionuklida yang dapat mendeteksi densitas tulang dan ketebalan korteks tulang.
Ada dua jenis pemeriksaan yaitu : single photon absorptiometry dan dual photon
absorptiometry.
a.
Single photon absorptiometry (SPA) sinar photon
bersumber dari 1-125 dengan dosis 200 mci yang diperiksa.
b.
Dual photon absorptiometry (DPA) sinar photon bersumber
dari nuklida GA-135 sebanyak 1,5 Cl yang mempunyai energy (44 kev dan 100 kev).
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur
vertebra dan colum femoris.
3.
Pemeriksaan Quantitative
Computerized Tamography
(QCT). Quantitative computerized tomography (QCT) merupakan salah satu cara
yang dipakai untuk mengukur mineral tulang karena dapat menilai secara
volumetric trabekulasi tulang radius ,
tibia, dan vertebra. keuntungan QCT
adalah tidak dipengaruhi oleh
korteks dan artefak kalsifikasi osteosit dan kalsifikasi aorta, serta tidak perlu diperhitungkan dengan berat badan dan tinggi badan.
Kerugiannya adalah paparan radiasinya
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pemeriksaan lainnya.
4.
Magnetic resonance imaging (MRI)
Cara ini dapat mengukur
struktur trabekuler tulang dan kepadatannya. Alat tersebut tidak memakai
radiasi, melainkan hanya dengan lapangan
magnet yang sangat kuat. Sayangnya pemeriksaan ini mahal dan membutuhkan
sarana yang banyak.
5.
Quantitative Ultra Sound (QUS)
Cara ini menggunakan
kecepatan gelombang suara ultra yang menembus tulang. Kemudian dinilai
atenuasi kekuatan dan daya tembus
melalui tulang yang dinyatakan sebagai
pita lebar ultrasonic (ultrasound broad band ) dan kekuatan (stiffness).
Keuntungannya adalah mudah dibawah kemana-mana , tetapi kerugiannya
adalah tidak dapat mengetahui lokalisasi
osteoporosis secara tepat.
6.
Densitometer (X-ray absorptiometry)
Menggunakan radiasi
sinar X yang sangat rendah. Ada dua
jenis X-ray absorptiometry yaitu SXA (Single X-ray absorptiometry) yang juga
disebut scan tulang. Pengukuran dilakukan
pada tulang yang kemungkinan mudah patah, seperti tulang belakang,
pinggul, dan pergelangan tangan atau
seluruh rangka tubuh.
Nilai massa tulang yang didapat dari pengukuran ini
disebut kerapatan mineral tulang (BMD= bone mineral density). Pengukuran ini
tidak menimbulkan rasa sakit, mudah dilakukan, hasil pemeriksaan diperoleh
dalam waktu singkat, dan relative aman. Walaupun menggunakan sinar X, tingkat
radiasinya sangat kecil , seingkali
lebih kecil dari radiasi alamiah. Oleh karenanya, pengukuran dapat dilakukan
pada anak-anak dan ibu hamil, serta dapat pula di ulang bila diperlukan.
7.
Tes darah dan urine
Sebenarnya osteoporosis
tidak dapat di deteksi menggunakan tes darah dan urine. Namun demikian tes
itu kedua tes ini masih mungkin
dilakukan untuk mengetahui dan melihat
kondisi lain yang terkait dengan
hilangnya massa tulang.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu
dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita,
mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapat diperoleh
melalui anamnese, pemeriksaan fisik dan riwayat psikososial.
1.
Anamnese
a.
Identitas
1)
Identitas klien
Meliputi nama, umur,
jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat, semua data mengenai
identitaas klien tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya.
2)
Identitas penanggung
jawab
Identitas penanggung
jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi penanggung jawab klien selama
perawatan, data yang terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan,
hubungan dengan klien dan alamat.
b.
Riwayat Kesehatan
Dalam pengkajian riwayat
kesehatan, perawat perlu mengidentifikasi adanya:
1)
Rasa nyeri atau sakit tulang punggung (bagian
bawah), leher,dan pinggang
2)
Berat badan menurun
3)
Biasanya diatas 45 tahun
4)
Jenis kelamin sering pada wanita
5)
Pola latihan dan aktivitas
c.
Pola aktivitas
sehari-hari
Pola aktivitas dan
latihan biasanya berhubungan dengan olahraga, pengisian waktu luang dan
rekreasi, berpakaian, makan, mandi, dan toilet. Olahraga dapat membentuk
pribadi yang baik dan individu akan merasa lebih baik. Selain itu, olahraga
dapat mempertahankan tonus otot dan gerakan sendi. Lansia memerlukan aktifitas
yang adekuat untuk mempertahankan fungsi tubuh. Aktifitas tubuh memerlukan
interaksi yang kompleks antara saraf dan muskuloskeletal.
Beberapa perubahan yang
terjadi sehubungan dengan menurunnya gerak persendian adalah agility (
kemampuan gerak cepat dan lancar ) menurun, dan stamina menurun.
2.
Pemeriksaan Fisik
a.
B1 (Breathing)
Inspeksi : Ditemukan ketidaksimetrisan rongga
dada dan tulang belakang
Palpasi : Taktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi : Cuaca resonan pada seluruh lapang
paru
Auskultasi : Pada kasus
lanjut usia, biasanya didapatkan suara ronki
b.
B2 ( Blood)
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik, sering
terjadi keringat dingin dan pusing. Adanya pulsus perifer memberi makna terjadi
gangguan pembuluh darah atau edema yang berkaitan dengan efek obat.
c.
B3 ( Brain)
Kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih
parah, klien dapat mengeluh pusing dan gelisah.
1)
Kepala dan wajah :
ada sianosis
2)
Mata :
Sklera biasanya tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis
3)
Leher :
Biasanya JVP dalam normal
Nyeri punggung yang
disertai pembatasan pergerakan spinal yang disadari dan halus merupakan
indikasi adanya satu fraktur atau lebih, fraktur kompresi vertebra
d.
B4 (Bladder)
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada
keluhan pada sistem perkemihan.
e.
B5 ( Bowel)
Untuk kasus osteoporosis, tidak ada gangguan eliminasi
namun perlu di kaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses.
f.
B6 ( Bone)
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis.
Klien osteoporosis sering menunjukan kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan
penurunan tinggi badan dan berat badan. Ada perubahan gaya berjalan, deformitas
tulang, leg-length inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang sering
terjadi adalah antara vertebra torakalis 8 dan lumbalis 3.
3.
Pemeriksaan penunjang
a.
Radiologi
Gejala radiologi yang khas adalah densitas atau
massa tulang yang menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding
dekat korpus vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisan
korteks dan hilangnya trabekula transversal merupakan kelainan yang sering
ditemukan. Lemahnya korpus vertebrae menyebabkan penonjolan yang menggelembung
dari nucleus pulposus kedalam ruang intervertebral dan menyebabkan deformitas
bikonkaf.
b.
CT-Scan
Dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif
yang mempunyai nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral
vertebra diatas 110 mg/cm3 biasanya tidak menimbulkan fraktur
vertebra atau penonjolan, sedangkan mineral vertebra dibawah 65 mg/cm3 ada
pada hampir semua klien yang mengalami fraktur.
B. Analisa Data
No
|
Data
|
Etiologi
|
Problem
|
1.
|
DS :
-
Pasien mengatakan Nyeri Tulang,
belakang yang intensitas serangannya meningkat pada malam hari.(skala :
1-10).
-
Pasien mengatakan Sakit hebat dan
terlokalisasi pada vertebra yg terserang.
-
Pasien mengatakan Nyeri berkurang
pada saat istirahat di tempat tidur
DO :
-
Pasien kelihatan menahan nyeri.
-
Pasien tidak bisa bergerak bebas
|
Tulang rapuh dan mudah patah akan menyebabkan Fraktur
yang akan mengakibatkan Gangguan pada fungsi ekstremitas atas dan bawah
sehingga Pergerakan fragmen tulang, spasme otot dan akan menimbulkan masalah
Nyeri
|
Nyeri berhubungan dengan dampak skunder dari fraktur
vertebra
|
2.
|
DS :
-
Pasien mengatakan aktivitasnya terganggu
-
Pasien mengatakan kesulitan dalam
bergerak
DO :
-
Pasien mengalami kesulitan
bergerak tempat tidur
-
Pasien terlihat terbaring lemah di
tempat tidur
|
Tulang rapuh dan mudah patah akan menyebabkan pasien
Jatuh sehingga terjadi Deformitas skelet
Sehingga menyebabkan Berkurangnya kemampuan pergerakan
yang akan menyebabkan masalah hambatan mobilitas fisik.
|
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi
sekunder akibat perubahan skeletal (kifosis) atau fraktur baru
|
3.
|
DS :
-
Pasien mengatakan lemas Dan kaku
DO :
-
Pasien tampak lemah
|
Osteoporosis akan menyebabkan Tulang rapuh dan mudah
patah sehingga pasien mudah Jatuh/kecelakaan yang akan menyebabkan masalah
Resiko Tinggi Cidera
|
Risiko tinggi injury atau fraktur berhubungan dengan
kecelakaan ringan/jatuh
|
4.
|
|
|
|
5.
|
|
|
|
C. Penyimpangan KDM Osteoporosis
Penyerapan
tulang lebih banyak daripada pembentukan baru
Defisiensi
Pengetahuan
|
Gangguan harga diri rendah
|
Hambatan mobilitas fisik
|
Resiko
cedera
|
Nyeri
|
D.
Diagnosa Keperawatan
1.
Nyeri
2.
Hambatan mobilitas fisik
3.
Gangguan harga diri rendah
4.
Resiko cedera
5.
Defisiensi pengetahuan
E.
Intervensi
NO
|
DIAGNOSA KEPERAWATAN
|
TUJUAN DAN KRITERIA
HASIL
|
INTERVENSI
|
1.
|
Nyeri
Definisi : Sensori yang tidak
menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara actual atau
potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya
kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri Internasional):
serangan mendadak atau pelan intensitasnya dari
ringan sampai berat yang dapat diantisipasi dengan
akhir yang dapat diprediksi dan dengan durasi
kurang dari 6 bulan.
Batasan karakteristik
:
-
Laporan secara verbal atau non
verbal.
-
Fakta dari observasi.
-
Posisi antalgic untuk menghindari
nyeri.
-
Gerakan melindungi.
-
Tingkah laku berhati-hati.
-
Muka topeng.
-
Gangguan tidur (mata sayu, tampak
capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai).
-
Terfokus pada diri sendiri.
-
Fokus menyempit (penurunan
persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang
dan lingkungan).
-
Tingkah laku distraksi, contoh :
jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas
berulang-ulang).
-
Respon autonom (seperti
diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi
pupil)
-
Perubahan autonomic dalam tonus
otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku).
-
Tingkah laku ekspresif (contoh :
gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh
kesah).
-
Perubahan dalam nafsu makan dan
minum.
Faktor yang
berhubungan :
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis)
|
NOC :
-
Pain Level, Pain control,
-
Comfort level
Kriteria Hasil :
-
Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurang nyeri, mencari bantuan).
-
Melaporkan bahwa nyeri berkurang
dengan menggunakan manajemen nyeri.
-
Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri).
-
Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang.
|
Pain Management
-
Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan factor presipitasi.
-
Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan.
-
Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri pasien.
-
Kaji kultur yang mempengaruhi
respon nyeri.
-
Evaluasi pengalaman nyeri masa
lampau.
-
Evaluasi bersama
pasien dan tim
kesehatan lain tentang
ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau.
-
Bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan dukungan.
-
Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
-
Kurangi faktor presipitasi nyeri.
-
Pilih dan lakukan
penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter
personal).
-
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi.
-
Ajarkan tentang teknik non
farmakologi.
-
Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri.
-
Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri.
-
Tingkatkan istirahat.
-
Kolaborasikan dengan dokter jika
ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil.
-
Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic Administration
-
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat.
-
Cek instruksi dokter tentang jenis
obat, dosis, dan frekuensi.
-
Cek riwayat alergi.
-
Pilih analgesic yang diperlukan
atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari
satu.
-
Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri.
-
Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal.
-
Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara teratur.
-
Monitor vital
sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali.
-
Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat.
-
Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan
gejala (efek samping).
|
2.
|
Defisiensi Pengetahuan
Definisi : Tidak adanya atau
kurangnya informasi kognitif sehubungan dengan topic spesifik.
Batasan karakteristik
: memverbalisasikan adanya masalah, ketidakakuratan
mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai.
Faktor yang
berhubungan : keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi
yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui
sumber-sumber informasi.
|
NOC :
-
Kowlwdge : disease process.
-
Kowledge : health Behavior
Kriteria Hasil :
-
Pasien dan keluarga menyatakan
pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan.
-
Pasien dan keluarga mampu
melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar.
-
Pasien dan keluarga mampu
menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya
|
NIC :
Teaching : disease Process
-
Berikan penilaian tentang tingkat
pengetahuan pasien tentang
proses penyakit yang spesifik.
-
Jelaskan patofisiologi dari
penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi,
dengan cara yang tepat.
-
Gambarkan tanda dan gejala yang
biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat.
-
Gambarkan proses penyakit, dengan
cara yang tepat.
-
Identifikasi kemungkinan penyebab,
dengna cara yang tepat.
-
Sediakan informasi
pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat.
-
Hindari harapan yang kosong.
-
Sediakan bagi keluarga informasi
tentang kemajuan pasien dengan
cara yang tepat.
-
Diskusikan perubahan
gaya hidup yang
mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi di masa
yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit.
-
Diskusikan pilihan terapi atau
penanganan.
-
Dukung pasien untuk mengeksplorasi
atau mendapatkan second opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan.
-
Eksplorasi kemungkinan
sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat.
-
Rujuk pasien pada grup atau agensi
di komunitas lokal, dengan cara yang tepat.
-
Instruksikan pasien
mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada
pemberi perawatan kesehatan,
dengan cara yang tepat.
|
3.
|
Hambatan
mobilitas fisik
Defenisi : keterbatasan pada pergerakan
fisik
Tubuh atau satu atau lebih ekstremitas
secara
Mandiri atau terarah
|
NOC
·
Joint movement: active
·
Mobility level
·
Self care : ADLs
Kriteria hasil :
·
Klien meningkat dalam aktifitas
fisik
·
Mengerti tujuan dari peningkatan
mobilias
·
Memverbalisasikan perasaan dalam
meningkatkan
kekuatan dan kemampuan
berpindah
·
Memperagakan penggunaan alat
bantu
Untuk
mobilisasi
|
NIC:
Exercise theraphy : ambulation
·
Monitoring vital sign
sebelum/sesudah
latihan dan
lihat respon pasien saat latihan
·
Konsultasikan dengan terapi fisik
tentang
rencana
ambulasi sesuai dengan kebutuhan
·
Bantu klien untuk menggunakan
tongkat
Saat berjalan
dan cegah terhadap cedera
·
Ajarkan pasien atau tenaga
kesehatan
Lain tentang
teknik ambulasi
·
Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
·
Latih pasien dalam pemenuhan
kebutuhan
ADLs secara
mandiri sesuai dengan
Kemampuan
·
Damping dan bantu pasien saat
mobilisasi
Dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs pasien
·
Berikan alat bantu jika klien
memerlukan
|
4.
|
Risiko
cidera
Definisi : beresiko mengalami cedera
sebagai akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan
sumber defensive individu.
|
NOC
·
Risk control
Kriteria hasil :
-
Klien terbebas dari cedera
Klien mampu
menjelaskan cara atau metode
Untuk mencegah
injury/cedera
·
Klien mampu menjelaskan factor
resiko dari
Lingkungan /
perilaku personal
·
Mampu memodifikasi gaya hidup
untuk
Mencegah
injury/ cedera
·
Menggunakan fasilitas kesehatan
yang ada
·
Mampu mengenali perubahan status
Kesehatan.
|
NIC
Environment management (manajemen
lingkungan
·
Sediakan lingkungan yang aman
untuk
Pasien
·
Identifikasi kebutuhan keamanan
pasien
Sesuai dengan
kondisi fisik dan fungsi
Kognotif
pasien dan riwayat penyakit
Terdahulu
pasien.
·
Menghindari lingkungan yang
berbahaya
(memindahkan
perabotan)
·
Menyediakan tempat tidur yang
nyaman
Dan
bersih
·
Menganjurkan keluarga pasien
untuk
Menemani
pasien
·
Memindahkan barang-barang yang
dapat
Membahayakan
|
|
Harga
diri rendah situasional
Definisi
: Perkembangan
persepsi negative
Tentang harga diri sebagai respon
terhadap
Situasi saat ini
|
NOC
·
Body image
·
Coping ineffective
Kriteria hasil :
·
Adaptasi terhadap ketunandayaan
Fisik: respon
adaptif klien terhadap
Tantangan
fungsional penting akibat
Ketunandayaan
fisik
·
Resolusi berduka : penyusuaian
dengan
Kehilangan
actual atau kehilangan yang
Akan terjadi
·
Penyusuaian psikososial:
perubahan hidup
Respon
psikososial adaptif individu terhadap
Perubahan
bermakna dalam hidup
·
Mengungkapkan penerimaan diri
Komunikasi
terbuka
·
Menggunakan strategi koping
efektif
|
NIC
Self estreem enhancement
·
Tunjukan rasa percaya diri
terhadap
Kemampuan
pasien untuk mengatasi
Situasi
·
Dorong pasien mengidentifikasi
kekuatan
Dirinya
·
Ajarkan keterampilan perilaku yang positif
Melalui
bermain peran, atau diskusi
·
Monitor frekuensi komunikasi
verbal
Pasien yang
negative
·
Kaji alasan-alasan untuk
mengkritik atau
Menyalahkan
diri sendiri
|
F.
Implementasi
Selama tahap implementasi, perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan.
Instruksi keperawatan diimplementasikan untuk membantu klien memenuhi kebutuhan
yang telah direncanakan.
G.
Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
1.
Nyeri
berkurang
2.
Terpenuhinya
kebutuhan mobilitas fisik
3.
Status
psikologi yang seimbang
4.
Tidak
terjadi cedera
5.
Terpenuhinya
kebutuhan, pengetahuan dan informasi
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Osteoporosis merupakan kondisi terjadinya penurunan
densitas/ matriks/massa tulang, peningkatan prositas tulang, dan penurunan
proses mineralisasi deisertai dengan kerusakakn arsitektur mikro jaringan
tulang yang mengakibatkan penurunan kekokohan tulang sehingga tulang menjadi
mudah patah.
Beberapa faktor resiko Osteoporosis antara lain yaitu :
usia, genetik, defisiensi kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan
(kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, siklosporin), merokok, alcohol serta
sifat fisik tulang (densitas atau massa tulang) dan lain sebagainya.
Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur kompresi.
Fraktur kompresi ganda vertebra mengakibatkan deformitas skelet.
B.
Saran
1.
Lansia
Harus lebih
memperhatikan kesehatan dengan menghindari faktor-faktor resiko osteoporosis
serta memenuhi asupan gizi yang lengkap terutama untuk tulang
2.
Tenaga medis
Sebagai seorang tenaga
medis harus mampu memberikan pendidikan kesehatan yang baik terutama bagi
lansia sehingga dapat menghindarkan atau mencegah terjadinya penyakit
osteoporosis
3.
Mahasiswa
Harus lebih memahami
tentang asuhan keperaawatan pada gangguan system musculoskeletal “osteoporosis”
sehingga mampu menerapkannya di lhan praktik demi memberi pelayanan kesehatan
yang baik bagi klien.
DAFTAR PUSTAKA
Purwoastuti
Endang. 2009. Waspada ! OSTEOPOROSIS.
Yogyakarta. Kanisius
Emma
Wirakusumah.2007. Mencegah Osteopporosis.
Jakarta. Penebar plus
Tandra
hans. 2009. Segala sesuatu yang harus
anda ketahui tentang osteoporosis mengenal, mengatasi dan mencegah Tulang
Keropos. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Suratun,
Heryati. 2008. KLIEN GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL : SERI ASUHAN KEPERAWATAN. Jakarta : EGC
Rosyidi Kholid. 2013. MUSKULOSKELETAL. Jakarta : CV. TRANS
INFO MEDIA
Lukman, Ningsih Nurma.
2012. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL. Jakarta : Salemba Medika
I am very much happy to share to every viewers that is reading this,I want to inform the whole public of how I got help for my herpes, I wanted this since 6 months ago, I have also taken treatment from some doctor,few weeks back I came on the net to see if I will be able to get any information as to cure my herpes, on my search I saw various testimony of people who was helped by a great man called Dr Akhigbe and without any hesitation, I contacted him, I wrote to him and and he guided me, I asked him for solutions and he started the remedies for me and indeed 3 weeks after I started using the medicine, I was completely happy as it worked for me.I went to the hospital for check up and indeed I was declared negative from my disease, and I also waited again for two weeks and went back to another hospital for check up to be fully sure and to my great surprise I was still declared negative, and I decided to share this great opportunity to those people out there fighting this sickness, You can contact him now for your medicine to cure your diseases, contact his Email; drrealakhigbe@gmail.com or Whatsapp +2349010754824 website. hpps:drrealakhigbe.weebly.comDr Akhigbe also cure diseases like..
BalasHapusHIV, Herpes , Cancer, Chronic Disease, Asthma , Parkinson's disease, External infection, Als, progeria, common cold, multiple sclerosis disease, Nausea, Vomiting or Diarrhea, Heart Disease, meningitis, Diabetes, Kidney Disease, Lupus, Epilepsy, Stroke,Eczema, Erysipelas Eating Disorder, Back Pain. etccontact him for your solution.