BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja.
Tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin atau kaya, dan dimana saja. Setiap
tahunnya, kasus TBC di Indonesia bertambah 25% dan sekitar 140.000 terjadi
kematian. Bahkan, Imdonesia adalah Negara ketiga terbesar dengan masalah TBC di
dunia. (Sandina, 2011)
Survey prevalensi TBC yang dilakukan di
enam provinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di
Indonesia berkisar antara 0,2- 0,65. Sedangkan menurut laporan penanggulangan
TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada
tahun 2002 mencapai 555.000 kasus(256/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya
diperkirakan merupakan kasus baru. (Sandina, 2011)
Penyakit TBC adalah suatu penyakit
infeksi yang disebabkan oleh bakteri mikrobakterium tuberkulosa. Bakteri ini
berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batag
Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ini ditemukan oleh Robert Koch pada
tanggal 24 Maret 1882. Untuk mengenang jasa Koch, bakteri tersebut diberi nama
baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kerap juga disebut sebagai
Koch Pulmonum (KP). (Sandina, 2011)
B.
RUMUSAN MASALAH
a. Apa
Defenisi Tuberculosis?
b. Apa
Etiologi Tuberculosis?
c. Bagaimana
Epidemiologi Tuberculosis?
d. Bagaimana
Patofisiologi Tuberculosis?
e. Apa
Manifestasi Tuberculosis?
f. Bagaimana
Diagnosis Tuberculosis?
g. Apa
Komplikasi Tuberculosis?
h. Bagaimana
Penatalaksanaan Tuberculosis?
i.
Apa Pemeriksaan Penunjang Tuberculosis?
j.
Bagaimana Prognosis Tuberculosis?
k. Bagaimana
Pencegahan Tuberculosis?
C.
TUJUAN PENULISAN
a. Untuk
mengetahui Defenisi Tuberculosis?
b. Untuk
mengetahui Etiologi Tuberculosis?
c. Untuk
mengetahui Epidemiologi Tuberculosis?
d. Untuk
mengetahui Patofisiologi Tuberculosis?
e. Untuk
mengetahui Manifestasi Tuberculosis?
f. Untuk
mengetahui Diagnosis Tuberculosis?
g. Untuk
mengetahui Komplikasi Tuberculosis?
h. Untuk
mengetahui Penatalaksanaan Tuberculosis?
i.
Untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang Tuberculosis?
j.
Untuk mengetahui Prognosis Tuberculosis?
k. Untuk
mengetahui Pencegahan Tuberculosis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFENISI
TUBERCULOSIS
(TBC)
Tuberculosis
paru-paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran pernapasan dan
saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Tetapi paling banyak melalui
inhalasi droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut. Penyakit
ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang,
dan nodus limfe. Tuberculosis pada manusia ditemukan dalam 2 bentuk yaitu :
a. Tuberculosis primer,
jika terjadi pada infeksi yang pertama kali;
b. Tuberculosis sekunder,
kuman yang dorman pada tuberculosis primer akan aktif setelah bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen imunitas, misalnya karena malnutrisi,
penggunaan alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. (Somantri, 2012)
Tuberculosis
(TB) adalah penyakit infeksi yang disesbabkan basil Mycobacterium tuberculosis, atau basil tuberkel, yang tahan asam.
Bila seseorang yang belum pernah terpapar pada TB, menghirup cukup banyak basil
tuberkel ke dalam alveoli, maka terjadilah infeksi tuberculosis. Reaksi tubuh
terhadap basil tuberkel tergantung pada kerentanan orang tersebut, besarnya
dosis yang masuk, dan virulensi organisme. Peradangan terjadi di dalam
alveoli(parenkim) paru, dan pertahanan tubuh alami berusaha melawan infeksi
itu. Makrofag menangkap organisme itu, lalu dibawa ke sel T. Proses radang dan
reaksi sel menghasilkan sebuah nodul pucat kecil yang disebut tuberkel primer.
Di bagian tengah nodul terdapat basil tuberkel. Bagian luarnya mengalami
fibrosis, bagian tengahnya kekurangan makanan, mengalami nekrosis. Proses
terakhir ini dikenal sebagai perkijuan. Bagian nekrotik tengah ini dapat
mengapur (kalsifikasi), atau mencair. Materi cair ini dapat di batukkan keluar,
meninggalkan rongga(kaverne) dalam parenkim paru(tampak pada foto toraks). Bila
pada foto toraks hanya tampak nodul yang telah mengalami perkapuran, maka nodul
ini dikenal sebagai tuberkel Ghon. Adanya tuberkel Ghon di sertai pembesaran
kelenjar limfe di hilus paru bersama-sama di sebut sebagai kompleks primer.
(Tambayong, 2000).
Orang
dengan kompleks primer telah dibuat peka tehadap basil tuberkel. Bila orang ini
diberi tes tuberculin, akan member reaksi positif. Tes tuberculin positif tidak
berarti bahwa yang bersangkutan telah mengidap TB orang dengan tes tuberculin
positif dan minum INH(isoniazid) secara profilaktik untuk 3-6 bulan, akan
member tes negative. Perlindungan ini dikatakan untuk seumur hidup. Berbeda
dengan penyakit infeksi lain, pasien yang pernah terinfeksi TB akan memilikinya
seumur hidup, kecuali pernah mendapat pengobatan profilaksis dengan INH. Basil
tuberkel ini menetap dalam paru dalam keadaan terbungkus; dikatakan dalam
keadaan tenang. Bila seseorang menghadapi stress fisik atau emosi, basil ini
dapat menjadi aktif kembali dan berkembang biak. Jika pertahanan tubuh rendah,
maka timbul TB aktif. Bila TB timbul beberapa tahun setelah infeksi primer,
dikenal sebagai TB reaktivasi. (Tambayong, 2000).
Klasifikasi
tuberculosis dari system lama:
1. Pembagian
secara patologis
a. Tuberculosis
(childhood tuberculosis)
b. Tuberculosis
post-primer (adult tuberculosis)
2. Pembagian
secara aktivitas radiologis Tuberculosis paru (Koch pulmonum) aktif, non-aktif
dan quiescent (bentuk aktif yang menyembuh)
3. Pembagian
secara radiologis (luas lesi)
a. Tuberculosis
minimal
b. Moderately advanced
tuberculosis
c. Far advanced tuberculosis
Klasifikasi
menurut American thoracic society:
1. Kategori
0: tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negative, test
tuberculin negative
2. Kategori
1: terpajan tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Riwayat kntak
positif, test tuberculin negative
3. Kategori
2: terinfeksi tuberculosis, tetapi tidak sakit. Test tuberculin positif,
radiologis dan sputum negative
4. Kategori
3: terinfeksi tuberculosis dan sakit
Klasifikasi
di Indonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan makro
biologis:
1. Tuberculosis
paru
2. Bekas
tuberculosis paru
3. Tuberculosis
paru tersangka, yang terbagi dalam:
a. TB
tersangka yang diobati: sputum BTA(-). Tetapi tanda-tanda lain positif
b. TB
tersangka yang tidak diobati: sputub BTA negative dan tanda=tanda lain juga
meragukan
Klasifikasi
menurut WHO 1991 TB dibagi dalam 4 kategori yaitu:
1. Kategori
1, ditujukan terhadap:
a. Kasus
baru dengan sputum positif
b. Kasus
baru dengan bentuk TB berat
2. Kategori
2, Dituukan terhadap:
a. Kasus
kambuh
b. Kasus
gagal dengan sputum BTA positif
3. Kategori
3, ditujukan terhadap:
a. Kategori
BTA negative dengan kelainan paru yang luas
b. Kasus
TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori
4. Kategori
4, ditujuakn terhadap TB kronik. (buku nanda nic no)
B. ETIOLOGI
TUBERCULOSIS
(TBC)
Mycobacterium tuberculosis
merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal
0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen M.
Tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap
zat kimia dan factor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni
menyukai daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah
tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberculosis. (Somantri,
2012)
Mycobacterium
tuberculosis tidak berspora sehingga mudah dibasmi
dengan pemanasan, sinar matahari dan sinar ultraviolet. Ada dua macam Mycobacterium tuberculosis yaitu tipe
human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita
mastitis tuberculosis usus basil tipe human biasa berada di bercak ludah
(droplet) dan di udara yang berasal dari penderita TBC, dan orang yang terkena
rentan terinfeksi bila menghirupnya.
Setelah
organisme terinhalasi, dan masuk ke paru-paru bakteri dapat bertahan hidup dan
menyebar kenodus limfatikus local. Penyebaran melalui aliran darah ini dapat
menyebabkan TB pada organ lain, dimana infeksi laten dapat bertahan sampai
bertahun-tahun. Dalam perjalanan penyakitnya terdapat 4 fase:
1. Fase
1 ( fase tuberculosis primer)
Masuk
kedalam paru dan berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh.
2. Fase
2
3. Fase
3 (fase laten): fase dengan kuman yang tidur (bertahun-tahun/seumur hidup) dan
reaktifitas jika terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, dan bias
terdapat tulang panjang, vertebra, tuba fallopi, otak, kelenjar limf hilus,
leher dan ginjal
4. Fase
4: dapat sembuh tanpa cacat atau sebaliknya, juga dapat menyebar ke organ yang
lain dan yang kedua ke ginjal setelah paru. (nanda nic noc)
C. EPIDEMIOLOGI
TUBERCULOSIS
(TBC)
a.
Epidemiologi
Global
Angka
dan insidensi kasus dan mortalitas TB menurun drastis sejak terdapat
kemoterapi. Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat
ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan maret
1993 WHO mendeklerasikan TB sebagai
global health emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang
penting karena lebih kurang 1/3 penduduk Indonesia terinfeksi oleh
microbacterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat di
seluruh dunia.
Sebagian
besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) berada pada usia produktif
yaitu 20-49 Tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevelensi maka
lebih dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian yang baru yang muncul
terjadi di Asia.
Alasan
utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabkan:
1. Kemiskinan
pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara-negara yang sedang berkembang
tapi juga pada penduduk perkotaan tertentu di negara maju.
2. Adanya
perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan dari
struktur usia manusia yang hidup.
3. Perlindungan
kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang rentan terutama
di negeri-negeri miskin.
4. Tidak
memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter
5. Terlantar
dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostic, dan pengawasan kasus TB
dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat
6. Adanya
epidemic HIV terutama di Afrika dan Asia. (buku ajar ilmu penyakit dalam)
b.
Epidemiologi
TB di Indonesia
Indonesia
adalah negeri dengan prevelensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan
India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India, dan Indonesia
berturut-turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan terjadi BTA
di sputum yang postif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan
survey kesehatan rumah tangga 1985 dan survey kesehatan nasional 2001, TB
menempati rangking nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Prevelensi nomor terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. Sampai sekarang angka
kejadian TB di Indonesia relative terlepas dari angka pandemic infeksi HIV
karena masih relative rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah
dimasa dating melihat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ketahun.(buku
ajar ilmu penyakit dalam)
D. PATOFISIOLOGI
TUBERCULOSIS
(TBC)
Infeksi
di awali karena seseoang menghirup basil
M. Tuberculosis. Bakteri
menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan terlihat
bertumpuk. Perkembangan M. Tuberculosis juga
dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru-paru(lobus atas). Basil juga
menyebar melalui system limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal,
tulang dan korteks serebri) dan area lain dari paru-paru(lobus atas).
Selanjutnya, system kekebalan tubuh memberikan respons dengan melakukan reaksi
inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis(menelan bakteri),
sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan
jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat
dalam alveoli yang menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul
dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri. (Somantri, 2008)
Interaksi antara M. Tuberculosis dan system kekebalan tubuh pada masa awal infeksi
membentuk sebuah massa jaringan baru yang di sebut granuloma. Granuloma terdiri
atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag seperti
dinding. Granuloma selanjtnya berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa.
Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri
atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi
yang penampakannya seperti keju (necrotizing
caseosa). Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan
kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif. (Somantri, 2008)
Setelah infeksi awal, jika respon system
imun tidak adekuat maka penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian
parah dapat timbul akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak
aktif kembali menjadi aktif. Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing
caseosa di dalam bronchus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh
dan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang
mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel dan seterusnya.
Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan terus
dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel
tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit(membutuhkan 10-20 hari).
Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel
epiteloid dan fibroblast akan menimbulkan respon berbeda, kemudian pada
akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel. (Somantri,
2008)
E. MANIFESTASI
KLINIS TUBERCULOSIS
(TBC)
Manifestasi
klinik akibat TB adalah demam 40-41oc, ada batuk dan batuk darah. Serta batuk
produktif (lebih dari 3 minggu), Hemoptisis, Sesak napas dan nyeri dada,
Malaiase, keringat malam, Suara khas pada perkusi dada, bunyi dada, Peningkatan
sel darah putih dengan dominasi limfosit, kelemahan, serta hilangnya nafsu
makan.
Gejala
penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul
sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas
terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk dilakukan diagnosis.
a. Gejala
sistemik/umum
o
Demam tidak terlalu tinggi yang
berlamgsung lama. Biasanya dirasakan pada malam hari disertai keringat.
Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
o
Penurunan nafsu makan dan berat badan.
o
Batuk-batuk selama lebih dari 3
minggu(dapat disertai dengan darah).
o
Perasaan tidak enak(malaise), lemah.
b. Gejala
khusus
Tergantung
dari organ tubuh mana yang terkena.
o
Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus,
yakni saluran yang menuju paru-paru, maka akan menimbulkan suara “mengi”, suara
napas melemah yang disertai sesak.
o
Bila ada cairan dirongga
pleura(pembungkus paru-paru), maka penderita akan mengalami keluhan sakit dada.
o
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi
gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan
bermuara pada kulit diatasnya. Pada muara ini akan keluar cairan nanah.[1]
F. DIAGNOSIS
TUBERCULOSIS
(TBC)
Dari uraian-uraian sebelumnya
tuberculosis paru cukup mudah dikenal mulai dari keluhan-keluhan klinis,
gejala-gejala, kelainan fisis, kelainan radiologis sampai dengan kelainan
bakterriologis. Tetapi dalam prakteknya tidaklah selalu mudah menegakkan
diagnosisnya. Menurut American Thoracic
Society dan WHO 1964 diagnosis pasti tuberculosis paru adalah dengan
menemukan kuman Mycobacterium
tuberculosae dalam sputum atau
jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan
sputum yang positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus
atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya dengan baik. Kelainan baru jelas
setelah penyakit berlanjut sekali.
Di Indonesia agak sulit menerapkan
diagnosis di atas karena fasilitas laboratorium yang sangat terbatas untuk
pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan menemukan kuma BTA dalam sediaan sputum
secara mikroskopi biasa, sudah cukup untuk memastikan diagnosis tuberculosis
paru karena kekerapan Mycobacterium
atypic di Indonesia sangat rendah.
Sungguhpun begitu hanya 30-7-% saja dari seluruh kasus tuberculosis paru yang
dapat didiagnosis secara bakteriologis.
Diagnosis tuberculosis paru masih banyak
di tegakkan berdasarkan kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan
diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga memberikan efek terhadap
pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Oleh sebab itu dalam diagnosis
tuberculosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis, status bakteriologis,
status radiologis dan status kemoterapi. WHO tahun 1991 memberikan kriteria
pasien tuberculosis paru.
·
Pasien dengan sputum BTA positif : 1.
Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopi ditemukan BTA,
sekurang-kurangnya pada 2x pemeriksaan, atau 2. Satu sediaan sputumnya positif
disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif, atau 3. Satu
sediaan sputumnya positif di sertai biakan yang positif.
·
Pasien dengan sputum BTA negative : 1.
Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopi tidak ditemukan BTA
sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB
aktif atau 2. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopi tidak di
temukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.
Di samping TB paru terdapat juga TB
ekstra paru, yakni pasien dengan kelainan histologis atau /dengan gambaran
klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien dengan satu sediaan dari organ ekstra
parunya menunjukkan hasil bakteri M.
tuberculosae.
Di luar pembagian tersebut di atas
pasien digolongkan lagi berdasarkan riwayat penyakitnya, yakni :
·
Kasus baru, yakni pasien yang tidak
mendapat obat anti TB lebih dari 1 bulan.
·
Kasus kambuh, yakni pasien yang pernah
dinyatakan sembuh dari TB, tetapi kemudian timbul lagi TB aktifnya.
·
Kasus gagal (smear positive failure), yakni :
-
Pasien yang sputum BTA-nya tetap positif
setelah mendapat obat anti TB lebih dari 5 bulan, atau
-
Pasien yang menghentikan pengobatannya
setelah mendapat obat anti TB 1-5 bulan dan sputum BTA-nya masih positif.
·
Kasus kronik, yakni pasien yang sputum
BTA-nya tetap positif setelah mendapat pengobatan ulang(retreatment) lengkap yang disupervisi dengan baik.
Hal lain yang agak jarang ditemukan
adalah cryptic tuberculosis. Di sini
pemeriksaan radiologis dan laboratorium/sputum menunjukkan hasil negative dan
kelainan klinisnya sangat minimal (biasanya demam saja dan dianggap sebagai fever of unknown origin). Diagnosis
diberikan berdasarkan percobaan terapi dengan obat anti tuberculosis seperti
INH+Etambutol selama 2 minggu. Bila keluhan membaik terapi dengan obat anti
tuberculosis diteruskan sebagaimana mestinya. Bila tidak ada perbaikan maka
obat-obat diatas dihentikan.(buku ajar pnkit dalam)
G. KOMPLIKASI
TUBERCULOSIS
(TBC)
1. Umum
a. Malaiase
b. Demam
dan penurunan berat badan
c. Keringat
malam
2. TB
Neurologis:
a. Meningitis
b. Abses
serebral
c. Lesi
saraf
3. TB
Jantung
a. TB
pericardial
b. Klasifikasi
dan tamponade
4. TB
Spinal
a. Kolaps
vertebra
b. Paralisis
5. TB
Kulit
a. Lupus
vulgaris
6. TB
kelenjar getah bening
a. Pembesaran
kelenjar getah bening yang tidak nyeri
7. TB
Respirasi
a. Dispnea
b. Batuk/sputum
c. Hemoptisis
d. Ronki
8. TB
Ginjal
a. Hematuria
b. Pluria
steril
c. Gagal
ginjal kronik
H. PENATALAKSANAAN
TUBERCULOSIS
(TBC)
Pentalaksanaan
yang diberikan bisa berupa metode preventif dan kuratif yang meliputi cara-cara
seperti berikut ini
1. Pencegahan
2. Penyuluhan
3. Pemberian
obat-obatan seperti
a. OAT
(Obat Anti-Tuberkulosis)
b. Bronkodilator
c. OBH;
dan
d. Vitamin
4. Fisioterapi
dan rehabilitasi
5. Konsultasi
secara teratur
Obat-obat
Anti-Tuberkulosis
a. Isoniazid(INH/H)
Dosis: 5mg/kgBB, per
oral
Efek samping:
peripheral neuritis, hepatitis, dan hipersensitivitas
b. Ethambutol
hydrochloride (EMB/E)
Dengan dosis sebagai
berikut:
·
Dewasa: 15 mg/kgBB per oral, untuk
pengobatan ulang mulai dengan 25 mg/kgBB/hari selama 60 hari, kemudian
diturunkan sampai 15 mg/kgBB/hari
·
Anak (6-12 tahun): 10-15 mg/BB/hari
Efek samping: optic
neuritis (efek terburuk adalah kebutaan) dan skin rash
c. Rimfampin/rimfapisin
(RFP/R)
Dosis: 10 mg/kgBB/hari
per oral
Efek samping:
hepatitis, reaksi demam, purpura, nausea, dan vomiting
d. Pyrazinamide
(PZA/Z)
Dosis: 15-30 mg/kgBB
per oral
Efek samping: hiperurisemia,
hepatotoxicity, skin rash, artralgia, distress gastrointestinal.
Dengan
ditemukannya Rimfapisin paduan obat yang diberikan untuk klien tuberculosis
adalah INH + Rimfapisin + Streptomisin atau Etambutol setiap hari (fase awal)
dan diteruskan pada fase lanjut dengan INH + Rimfapisin atau Etambutol.
Paduan
ini selanjutnya berkembang menjadi terapi jangka pendek, dengan memberikan INH
+ Rimfapisin + Streptomisin atau
Etambutol atau Pyrazimide setiap hari sebagai fase awal selama 1- 2 bulan
dilanjutkan dengan INH + Rimfapisin atau Etambutol atau Streptomisin 2-3 kali
per minggu selama 4-7 bulan sehingga lama pengobatan seluruhnya 6-9 bulan.
Panduan
obat yang digunakan di Indonesia dan dianjurkan pula oleh WHO adalah 2 RHZ/4 RH
dengan variasi 2 RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3, 2 RHS/ 4 R2H2.
Ada
tiga prinsip dalam pengobatan TB yang berdasarkan pada: (1) regimen harus
termasuk obat-obat multiple yang sensitive terhadap mikroorganisme, (2)
obat-obatan harus diminum secara teratur, dan (3) terapi obat harus dilakukan
terus-menerus dalam waktu yang cukup untuk menghasilkan terapi yang paling
efektif dan paling aman dalam waktu singkat. ATS (1994)[2]
I. PEMERIKSAAN
PENUNJANG TUBERCULOSIS (TBC)
a. Darah
Pemeriksaan
ini kurang mendapat perhatian, karna hsilnya kadang-kadang meragukan, hasilnya
tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberculosis baru mulai
(aktif) akan didapatkan jumlah leukosit
yang sedikit meninggi dengan hiitung jenis pergeseran kekiri. Jumlah limfosit
masih dibawah normal. laju endap darah mulai meningkat. Jika penyakit mulai sembuh,
jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap
darah mulai turun kearah normal lagi.
Hasil
pemeriksaan darah lain didapatkan juga :
1). Anemia ringan dengaan gambaran normokrom dan normositer;2). Gama globulin
meningkat; 3). Kadar natrium darah menurun. Pemeriksaan tersebut diatas
nilainya juga tidak spesifik.
Pemeriksaan
serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi. Pemeriksaan ini dapaat
menunjukkan proses tuberculosis masih aktif ataau tidak. Criteria positif yang
dipakai di Indonesia adalah titer1/128. Pemeriksaan ini juga kurang mendapat
perhatiaan karena angka-angka positif palsu dan negative palsunya maasih besar.
Belakangan
ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai yakni peroksidase
Anti Peroksida (PAP-TB) yang oleh beberapa peneliti mendapatkan nilai
sensitivitas daan spesifitasnya cukup tinggi (85-95 %), tetapi beberapa
peneliti lain meragukannya karena mendapatkan angka-angka yang lebih rendah.
Sungguhpun begitu PAP-TB ini masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila
sebagai saranaa tunggal untuk diagnosis
TB. Prinsip dasarr uji PAP-TB ini adalah menentukan adanya antibody IgG yang
spesifik terhadap antigen M.
Tuberculosae. Sebagai antigen dipakai polimer sitoplasma M. Tuberculin var bovis BSG yang
dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkaan secara ultrasentrifus. Hasil uji
PAP-TB dinyatakan patologis bila pada liter 1;10.000 didapatkan hasil uji
PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadang-kadang masih didapatkan pada pasien
rematik,kehamilan dan masa 3 bulan revaksinasi BCG.
Uji
serologis lain terhadap TB yang hamper cara dan nilainya dengan uji PAP-TB
adalah uji Mycodot. Disini dipakai
antigen LAM (Lipoarabbinomannan) yang dilekatkan pada suatu alaat yang
berbentuk sisir plastik. Sisir ini dicelupka kedalam serum pasien. Antibody
spesifik anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada
sisir yang intensitasnya sesuai dengan jumlah antibody.
b. Sputum
Pemeriksaan
sputum adalah penting karena ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkolosis
sudah dapat dipastikan. Di samping ini pemeriksaan sputum juga dapat memberikan
evaluasi terhadaap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan
murah sehingga dapat dikerjakan dilapangan (puskesmas) . tetapi terkadang tidak
mudah untuk mendaapatkan sputum terutama pasien yang tidaak batuk atau batu
yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan
sputum pasien dianjurkan minum air + 2 liter dan di ajarkan melalui refleks
batuk. Dapat juga dengan memeberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran
atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih
sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara broncos-kopi diambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho
alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapatkan dengan cara
bilasan lambung. Hal ini sering
dikerjakan pada anak- anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum
yang akan di[eriksa hendaknya sesegar mungkin.
Bila
sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman baru
dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka keluar,
sehingga sputu yang mengandung kuman BTA mudah keluar. Diperkirakan di
Indonesia terdapat 50% BTA positif tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam sputum mereka.
Untuk
pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan
modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
Cara
pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :
·
Pemeriksaan sediaan langsung dengan
mikroskop biasa.
·
Pemeriksaan sediaan langsung dengan
mikroskop fluoresens (pewarnaaan khusus)
·
Pemeriksaan dengan biakan (kultur)
·
Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
Pemeriksaan
dengan mikroskop fluoresens dengan sinar ultra violet walaupun sensitivitasnya
tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan yang dipakai
(auramin-rho-damin) dicurigai bersifat karsinogenik.
Pada
pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum dengan medium
biakan, koloni kuman tuberkolosis mulai tampak. Bila setelah 8 minggu penanaman
koloni tidak juga tidak tampak, biakan dinyatakan negatif. Medium biakan yang
sering dipakai yaitu Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa.
Saat
ini sudah dikembangkan pemeriksaan sputum BTA dengan cara bactec (Bactec 400 Radiometric system), dimana kuman sudah
dapat dideteksi dalam 7-10 hari. Disamping itu dengan
teknik poly-merase Chain Reaction (PCR)
dapat dideteksi DNA kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi M.tuberculosae yang tidak tumbuh pada
sediaan biakan. Dari hasil biakan biasanya dilakukan juga pemeriksaan terhadap
resistensi obat dan identifikasi kuman.
Kadang-kadang
dari hasil pemeriksaan mikrokopis biasa tredapat kuman BTA (positif), tetapi
pada biakan hasilnya negative. Ini terjadi pada fenomen dead bacilli atau non
culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduaan obat anti
tuberculosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu pendek.
Untuk
pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan, bhan-bahan selain sputum dapat juga diambil
dari bilasan bronkus, jaringan paru, pleura, cairan pleura, cairan lambung,
jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin, dan tinja.
c. Tes
Tuberkulin
Pemeriksaan
ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan, diagnosis tuberculosis
terutama pada anak-anak (balita). Biasanya diapakai tes mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberculin P.P.D. ( purified protein Derivative) intakutan
berkekuatan5 T.U. ( intermediate strength).
Bila ditakutkan reaksi hebat dengan T.U. dapat diberikan dulu 1 atau 2 T.U (first strength). Kadang-kadang bila dengan T.U masih
memberikan hasil negative dapat diulangi dengan 250 T.U (second strength). Bila dengan 250 T.U masih memberikan hasil
negative, berarti tuberculosis dapat disingkirkan. Umumnya tes Mantouks dengan
5 T.U saja sudah cukup berarti.
Tes
tuberculosis hanya menyatakan apakah seseorang sedang atau pernah mengalami
infeksi M.tuberculosae, M.bovis,
vaksinasi BCG dan mycobacteria patoogen lainnya. Dasar tes tuberculin ini
adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan dengan kuman patogen baik yang
virulen ataupun yang tidak ( mycobacterium
tuberculosae atau BCG) tubuh manusia akan mengadakan reaksi imunologi
dengan dibentuknya antibody selular pada permulaan dan kemudian diikuti oleh
pembentukan antibody humoral yang dalam perannya akan menekankan antibody
selular.
Bila
pembentukan antibody selular cukup misalnya pada penularan dengan kuman yang
sangat virulen dan jumlah kuman yang sangat
besar atau pada keadaan diman pembentukan antibody humoral amat
berkurang ( pada hipogama-glubonemia), maka akan mudah terjadi penyakit sesudah
penularan.
Setelah
48-72 jam tuberkuin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan
yang terdiri dari infitrat limfosit yaksi reaksi persenyawaan antara antibody
selular dan tuberculin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibody selular
dan antigen tuberkulinn amat dipengaruhi
oleh antibody humoral, makin besar pengaru antibody humoral, makin kecil
indurasi yang ditimbulkan.
Berdasarkan
hal-hal tersebut diatas , hasil tes Mantoux
ini diabgi dalam : 1. Indurasi 0-5 mm (daimeternya) :mantoux negative = golongan non
sensitivity. Disini peran antibody humoral paling menonjol; 2. Indurasi 6-9
mm : hasil meragukan = golongan low grade
sensitivity. Disini peran antibody humoral masih menonjol; 3. Indurasi 10-15 mm : mantoux positif = golongan normal sensitivity. Disini peran kedua antibody seimbang; 4. Indurasi
lebih dari 15 mm : mantoux positif
kuat = golongan hypersensitivity. Disini
antibody selular paling menonjol.
Biasanya
hampir seluruh pasien tuberculosis memberikan reaksi mantoux pemberian BCG atau
terinfeksi dengan mycobacterium lain.
Negative plsu lebih banyak ditemui dripada positif palsu.
Hal-hal
yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negative palsu) yakni:
·
Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan
tuberculosis
·
Anergik, penyakit sistemik berat
(Sarkoidosis, LE).
·
Penyakit eksantematous dengan panas yang
akut : morbili, cacar air, poliomielitis.
·
Reaksi hipersensitivitas menurun pada
penyakit limforetikular (Hodgkin)
·
Pemberian kortikosteroid yang lama,
pemberian obat-obat imunosupresi lainnya.
·
Usia tua, malnutrisi, uremia, penyaki
keganasan.
Untuk
pasien dengan HIV positif, test mantoux
5 mm, dinilai positif.
J. PROGNOSIS
TUBERCULOSIS
(TBC)
Prognosis
umumnya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika infeksi disebabkan
oleh strain resisten obat atau pasien berusia lanjut dengan debilitas
atau mengalami gangguan kekebalan yang beresiko tinggi menderita tuberkulosis
milier.
Menurut
depkes pasien yang tidak diobati setelah 5 tahun akan :
1. 50%
meninggal
2. 25%
akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25%
menjadi kasus kronis yang tetap menular.
K. PENCEGAHAN
1. Tidak meludah di sembarang tempat upayakan meludah pada
tempat yang tarkena sinar matahari atau ditempat khusus seperti tempat sampah.
2. Menutup mulut pada waktu ada orang batuk ataupun bersin.
3. Jemur tempat tidur bekas penderita secara teratur karna
kuman TBC akan mati bila terkena sinar matahari.
4. Jaga kesehatan badan supaya sistem imun senantiasa
terjaga dan kuat.
5. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makanan yang
sehat dan bergizi.
6. Hindari melakukan hal-hal yang dapat melemahkan sistem
kekebalan tubuh, seperti begadang dan kurang istirahat.
7. Jaga jarak aman ketika berhadapan dengan penderita TBC.
8. Olahraga teratur untuk membantu menyehatkan tubuh.
9. Lakukan imunisasi pada bayi termasuk imunisasi untuk
mencegah penyakit TBC.
10. Penting : Edukasi pasien TB. Edukasi
pada penderita dan keluarga tentang keadaan penyakit yang di derita, bahaya
penularan ke anaknya.
11. Olahraga
secara teratur, makan makanan yang bergizi serta istirahat yang cukup
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tuberculosis paru-paru merupakan
penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini
dapat masuk melalui saluran pernapasan dan saluran pencernaan dan luka terbuka
pada kulit. Tetapi paling banyak melalui inhalasi droplet yang berasal dari
orang yang terinfeksi bakteri tersebut. Penyakit ini dapat juga menyebar ke
bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe.
Mycobacterium
tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen M. Tuberculosis adalah berupa lemak/lipid
sehingga kuman mampu tahan terhadap zat kimia dan factor fisik. Mikroorganisme
ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah apeks paru-paru yang kandungan
oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit
tuberculosis.
B. SARAN
Demikian
makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran
dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami. Apabila ada
terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena kami adalah
hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, Alfa dan lupa.
Wabillah Taufik Walhidayah
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
DAFTAR PUSTAKA
Somantri
Irman. 2012. Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta. Penerbit Salemba Medika
.hal 59-60
Mubin
Halim. 2013. PANDUAN PRAKTIS ILMU
PENYAKIT DALAM Diagnosis Dan Terapi.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
Tambayong
Jan. 2000. Patofisiologi Untuk
Keperawatan. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
Sandina
Dewi. 2011. 9 PENYAKIT MEMATIKAN Mengenali Tanda & Pengobatannya.
Yogyakarta. Penerbit Smart Pustaka
Isselbacher,
Kurt J.2014. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Sibuea, Dr. W. Herlin. Panggabean, Dr.
Marulam M. Dr. S. P. Gustom. ILMU
PENYAKIT DALAM . Jakarta : PT. Rineka Cipta.
A. Price, Sylvia. M. Wilson, Lorraine.
2005. PATOFISIOLOGI. Jakarta :
Kedokteran EGC.
Warg, Jeremy P.T. dkk. At a GLANCE SISEM RESPIRASI. Jakarta : Erlangga. 2007
Kusuma, Hardi. 2015. APLIKASI ASUHAN KEPERAWATAN
berdasarkan DIAGNOSA MEDIS, NANDA, NIC dan NOC. Jogjakarta : Mediaction